Thursday, March 22, 2007


NEO QUASIMODO




Senin, 24 Juli


Hari ini Dimas mengantarkanku pulang. Aneh rasanya, karena ini kesempatan yang kutunggu-tunggu, tapi begitu aku mendapatkannya, aku sama sekali tidak merasa tertarik.


Aku bertanya beberapa hal yang sederhana, sesederhana yang kubisa, dan dijawab dengan jawaban yang tak kalah sederhananya. Biasanya aku akan langsung mencoba menumbuhkan minatnya untuk membicarakan hal lain, tapi begitu Dimas mengahiri kalimatnya— yang lebih pantas dibilang kata-kata mengingat dia tidak suka bicara—aku juga diam sampai saat terakhir.


Semangat Rendra jauh lebih besar ketimbang aku sendiri. Dengan senang hati dia menanyakan Dimas apakah dia mau mengantarkanku pulang, lalu kembali dengan wajah berseri dan penuh senyuman karena Dimas setuju.


Rendra itu aneh. Padahal Aditya yang juga tahu kalau aku naksir Dimas dan mendukungku—setidaknya mendengarkan ceritaku dan memberiku saran-saran—berekspresi biasa-biasa saja dan malah berkata, ”Biasa aja, dong, Den! Nggak usah didramatisir!” saat aku bersorak kegirangan mendengar Dimas mau mengantarku pulang. Tapi Rendra malah nggak henti-hentinya membicarakan Dimas.




Selasa, 25 Juli


Aku bertemu dengannnya di pagi hari. Dia sedang berjalan dengan Arman. Aku menyapa mereka secara universal tapi mataku menanti jawaban Dimas. Aku sudah tahu dia nggak akan berlaku sesuai keinginanku, jadi aku terbiasa diperlakukan seolah tidak ada. Yah, seolah tidak ada.


Pada saat istirahat aku tidak lagi mencari-cari dimana Dimas berada. Malah aku sempat menghindar ketika aku bertemu dengannya di koridor saat istirahat panjang. Dan aku berhenti membicarakannya, walaupun aku tidak pernah bisa berhenti memikirkannya. Bertemu dengannya hanya akan membuat hatiku sakit, melihat tampangnya yang innocent—bisa-bisanya, padahal dia sudah salah memperlakukanku—malah membuatku muak dan ingin memukulnya keras-keras. Dia benar-benar menyebalkan.




Rabu, 26 Juli


Dimas berlutut di hadapanku. Dia meraih tanganku dan mengatakan bahwa dia telah melakukan kesalahan dan berjanji akan mengantarku pulang mulai hari ini.


Aku berkedip. Saat aku membuka mataku, aku melihat jam dinding menunjuk pukul 07.00!! Dasar!! Mimpi indah yang menyebalkan !! Dan yang membuatku tambah sebal, mimpi itu membuatku terlambat!!


Aku tidak pergi ke sekolah dan kembali tidur. Lalu aku kembali memikirkan Dimas. Kalau seandainya itu sungguh-sungguh terjadi, apa yang akan kukatakan? Aku tahu aku tidak akan dengan mudah mengatakan bahwa aku mau. Tunggu, apakah itu berarti aku tidak sungguh-sungguh menyukainya? Atau aku sudah berhenti suka sama dia?




Kamis, 27 Juli


Dimas tidak masuk sekolah karena kecelakaan.


Ehm.


Lihat!! Bagaimana bisa aku menulis kalimat Dimas tidak masuk karena kecelakaan dengan diakhiri tanda titik?! Dan secara reflek aku mengatakan “Kenapa tidak mati saja” saat Haris mengatakan padaku bahwa Dimas ada di rumah, baik-baik saja walaupun dia habis mengalami kecelakaan, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.


Tapi sesungguhnya aku mengkhawatirkannya. Icella dan Yanuarista bisa melihat itu karena lima menit setelah aku mengatakan kata-kata kasar itu, aku mengajak Rendra untuk menjenguknya. Walaupun dia protes tapi akhirnya mau juga karena aku tidak akan berhenti merengek sampai dia mau ikut menjenguk Dimas.


Finally, bukan hanya aku dan Rendra tapi juga seluruh teman sekelas kami saat kelas sepuluh—mereka datang atas rujukanku—memenuhi halaman depan rumahnya yang cukup luas, dengan rumpun mawar dan anggrek tanah.


Kenyataannya dia memang baik baik saja walaupun aku melihat ada perban coklat melilit kakinya. Kembali aku menyadari bahwa Dimas tidak mau melangkah ke tempat yang ada akunya, walaupun semua teman baiknya ada di sana.




Jumat, 28 Juli


Hari ini aku mulai menjaga jarak. Rendra menyadari hal itu dan meminta penjelasanku. Kukatakan padanya bahwa bukannya aku pengecut tapi aku hanya akan mengejar cowok yang kusukai jika dan hanya jika dia memberi sinyal bahwa dia menyukaiku. Dimas bahkan tidak pernah mau bicara denganku kalau aku tidak mengajak dia bicara duluan.


Belum tentu gitu, kan? Toh, kamu belum pernah tanya langsung.” ujar Rendra.


Tapi dia selalu menghindari aku.” jawabku.


Kurasa itu karena dia suka kamu. Kamu tahu Dimas, ‘kan. Dia orangnya memang kayak gitu.” Aku terperangah. Bisa-bisanya dia bilang begitu padahal dia tahu pasti kalau menghindar itu juga bisa mengartikan yang sebaliknya.


Tentang menghindar, kurasa kamu jauh lebih tahu dari pada aku.” kataku sebal sambil meninggalkannya.


Rendra hampir selalu memberi harapan palsu padaku. Kemarin dulu juga pernah begitu. Dia mengatakan bahwa Dimas tidak henti-hentinya memandangi fotoku padahal kenyataannya dia hanya meliriknya. Selain itu juga pernah Rendra bilang bahwa Dimas mengajakku pulang bersamanya dan begitu aku menunggunya ternyata Dimas sudah pulang sedari tadi.


Itu, kan karena Rendra ingin menghiburmu, Den!” kata Fyra menghibur setelah kuceritakan perihal Rendra.


Itu hanya akan melambungkanku jauh ke angkasa dan menjatuhkanku dari sana juga. Jauh, jauh lebih menyakitkan.” Bantahku ngambek.


Rendra minta maaf karena hal itu kemudian. Yah, karena dia sudah minta maaf, jadi aku hanya bisa mengganggap bahwa Rendra hanya berusaha menghiburku, walaupun caranya salah. Tapi usahanya itu membuatku sangat terharu.




Senin, 31 Juli


Aku masih tetap melarikan diri dari Dimas. Begitu juga ketika Haris dan Dimas berjalan ke arahku di kantin, Dengan mengeraskan rahang, aku berlalu begitu saja seolah aku tidak melihat mereka berdua. Tapi Haris memanggilku, bertanya di mana kelasku, dan dengan sangat terpaksa aku menoleh, melakukan suatu kebodohan besar dengan menjawab bahwa ruanganku adalah ruang dua padahal ruangan itu adalah ruangan kelas mereka dan aku berada di ruang satu. Aku berusaha berlaku sangat—amat sangat—dingin tapi jawabanku menggelikan.


Rendra kembali memburuku mengenai mengapa aku masih tidak mau melihat, bertemu, menyapa dan sebagainya pada Dimas. Dia terus menyerangku dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh sampai akhirnya telingaku penuh dan emosiku memuncak. Kukatakan padanya,


Aku rasa dia tidak menyukaiku!! Dia bahkan nggak suka berada di dekatku, mengingat dia selalu menghindari tempat-tempat yang ada akunya. Kurasa aku NGGAK boleh menganggunya dengan minta dia ngantar aku pulang atau minjam buku-bukunya, oke?!”


Aku tahu rasanya bagaimana bila terpaksa melihat wajah orang yang tidak ingin kulihat, melakukan sesuatu yang tidak ingin kulakukan, bersama dengan orang yang tidak kuinginkan.


Pasti rasanya sangat menyebalkan. Dan aku tidak ingin membuatnya merasa tidak nyaman karena aku. Aku tidak bisa membuatnya sengsara, jadi aku memutuskan tidak akan mengganggunya lagi. Oh, Tuhan, kenapa aku tidak mati saja, sih?


Apa segitu sakitnya?” tanya Rendra. Apakah semua itu tidak jelas?


Kamu tahu benar perasaanku kayak apa kalau seseorang yang kusukai ternyata nganggap aku sebagai pengganggu yang buat dia merasa nggak nyaman.” Rendra mengenal perasaan ini. Sakit, tapi tidak cukup kalau hanya disebut sakit. Lebih dari pada itu.




Selasa, 1 Agustus


Hari ini—kurasa sebagai permintaan maaf—Rendra memperlakukanku dengan sangat baik. Walaupun biasanya dia memang memperlakukanku dengan baik, seperti membiarkanku masuk/keluar kelas lebih dulu & selalu memujiku cantik, tapi hari ini lain karena dia berlaku sangat manis. Mulai dari menceritakan lelucon-lelucon konyol, membuatkanku peta geografi, dan berhenti membicarakan Dimas.


Sebenarnya dia membicarakan Dimas. Saat dia memergoki aku sedang melamun, dia berkata bahwa Dimas itu bodoh sekali karena menolak seseorang yang sangat istimewa seperti diriku. Katanya lagi, Dimas seharusnya bersyukur karena dia bisa memperbaiki keturunannya kalau dia jadian denganku. Dia benar-benar menghiburku, walaupun sebenarnya banyak omongan bohong di dalamnya.


Aku jadi sempat terpikir, kenapa aku tidak naksir seseorang seperti Rendra saja, yang selalu menjadi seorang gentleman dan selalu memperlakukan seseorang dengan baik.


Seseorang yang seperti Rendra, mencintai seseorang dengan sepenuh hatinya dan mau memberikan apa saja asalkan orang itu merasa bahagia.


Seseorang yang, lagi-lagi seperti Rendra, mencintai seseorang tanpa pamrih, sekalipun dia terluka karenanya.


Tapi itu hanya akan jadi suatu pemikiran saja karena aku sendiri tidak pernah yakin seratus persen dia sudah melupakan Gadis—teman sekelas kami waktu kelas sepuluh—atau malah jatuh cinta lagi pada cewek lain yang kemungkinan adalah Yanuarista—teman sekelas kami mulai dari kelas sepuluh sampai sekarang—karena kulihat mereka berdua sering berbicara dari hati ke hati dan sangat mencurigakan. Ops, bukannya kecurigaanku ini yang tidak jelas?!


Lagi pula tidak mungkin kan kalau aku suka padanya. Halo, aku baru saja memutuskan untuk melupakan Dimas dan prosesnya masih berjalalan tiga hari.


Tentu saja tidak.


Kurasa ada yang kurang beres di sini karena aku sendiri juga merasakan hal lain selain “tentu saja tidak” itu. Dan aku tidak bisa mengira-ngira apa itu.




Rabu, 2 Agustus


Tentu saja tidak.


TENTU SAJA TIDAK. TIDAK.


Tapi kenapa aku mulai merasa tidak rela kalau Rista dekat-dekat Rendra?


Kurasa itu wajar saja karena pada awalnya memang aku yang lebih dulu akrab dengan Randra di kelas sepuluh dan Rista bahkan sama sekali tidak pernah bicara pada Rendra sebelum akhir semester dua.


Dan sekarang tiba-tiba Rista hampir selalu duduk di sebelah Rendra dan membicarakan hal-hal yang tidak kuketahui?? Maksudku biasanya apa yang dibicarakan Rista pada Rendra berasal dari pembicaraanku dengan Rendra, dan biasanya kami selalu bicara bertiga atau berempat atau berenam atau berdua tapi Rista tidak pernah bicara berdua dengan Rendra. Tidak pernah.


Hari ini aku melihat Rendra, yang dingin itu, yang tidak menertawakan sesuatu hal yang dianggap manusia sekelas lucu, yang tidak bicara kalau tidak mengenai hal-hal penting seperti kebakaran misalnya, yang bahkan kadang-kadang tidak menjawab kalau seseorang bertanya padanya, terus-menerus menggoda Rista tanpa adanya provokasi dari Rista dan tidak dari siapapun.


Dan ketika aku menanyainya sesuatu yang memang kurang penting, dia tidak menghiraukanku.


Padahal dia akrab denganku lebih lama dibanding Rista.


Apakah cowok itu nggak suka kalau diajak ngomong sama cewek?” tanyaku pada Aditya, yang duduk di sebalahku dengan volume yang cukup bisa membuat orang yang duduk tepat di depanku dengar, dan orang itu adalah Rendra, yang duduk di sebelah Rista.


Tergantung siapa ceweknya. Kalau dia nggak akrab sama aku atau dari kelas lain, aku juga males njawabnya.” jawab Aditya santai.


Tapi cewek itu adalah teman sekelasmu, kamu sering guyon sama dia, sekelompok sama dia hampir di semua mata pelajaran, dan duduk di belakangmu.” kataku dengan penuh penekanan.


Siapa, sih?” tanya Aditya. Rendra menoleh dan menyeringai.


Aku, ta Den?” tanya Rendra dengan ekspresi yang memang kuinginkan, ekspresi penyesalan.


Iya!! Kupikir pasti para cowok memang nggak suka tapi Aditya nggak pernah gitu. Dia selalu menghiraukankan siapa saja yang ngajak dia bicara.” kataku hati-hati supaya tidak terdengar emosional dan agar terlihat ini bukan masalah yang besar.


Kapan aku berlaku begitu, sih?” tanya Rendra dengan lembut agar tetap terdengar penuh penyesalan.


Kapan?! Saking seringnya aku sampai nggak inget lagi dan aku sampai terbiasa nggak direken.” kataku datar.


Iya, iya! Aku nggak akan begitu lagi, deh!” katanya manis, sempat membuatku sedikit terbawa tapi aku hanya mengangkat alisku dan tersenyum sedikit seolah mengatakan kita lihat saja.


Dan yang kulihat adalah perhatian Rendra yang nggak biasanya. Nggak biasanya dia mengomentari kata-kataku pada orang lain soalnya biasanya dia tidak suka mencampuri obrolanku dengan orang lain. Aku, walaupun tidak memandangnya langsung, bisa menangkap kalau dia lebih sering memandangiku, mungkin untuk memberiku komentar dan dia bahkan selalu bereaksi kalau aku berbicara, pada siapa saja, sekalipun bukan dia. Kurasa aku tidak keterlaluan. Iya, kan?




Kamis, 3 Agustus


Setelah jam ke empat aku secara diam-diam, tanpa ada seorangpun yang tahu, pergi ke Ruang Kesehatan karena selain tenggorokanku yang sakit aku juga flu—sedikit demam dan dunia berputar-putar dalam kepalaku—jadi aku memutuskan untuk berbaring sebentar.


Begitu penjaga memberiku obat, dan meninggalkanku sendirian karena dia harus pulang menjaga putrinya yang sakit. Sementara aku berbaring, ternyata seseorang membuka pintu. Aku membuka mataku dan melihat Dimas berdiri di sana!!


Aku terduduk dengan cepat dan membuat handuk basah yang menutup dahiku jatuh ke pangkuanku. Jantungku berdetak begitu cepat menunggu kata-kata keluar dari mulutnya.


Eh, hai. Mbaknya ke mana, ya?” tanyanya dengan senyuman simpul di sudut bibirnya. Sulit dipercaya kalau dia bukan seorang malaikat. Dia benar-benar mirip. Namun aku segera menguasai diriku dan mengatakan padanya apa yang terjadi.


Dan jadilah! Aku. Di ruangan itu, berdua saja dengan Dimas yang juga demam, yang berbaring di sebelah tempat tidurku. Aku tidak mengatakan apapun dari balik handuk basah yang kini menutupi seluruh wajahku karena aku memang tidak berniat mengatakan apapun.


Sepuluh menit kemudian yang bagiku bertahun-tahun lamanya, Rendra datang dengan tenang tapi dapat kulihat dari celah handukku, raut wajahnya berubah ketika melihat Dimas. Jadi kuputuskan untuk pura-pura tidur.


Aden?! Aden Ruanna?! Apa kamu baik-baik saja?” tanyanya pelan. Kupikir Dimas sedang tidur juga jadi Rendra tidak menyapa Dimas. Lalu aku membuka mataku dan menyingkirkan handuk dari wajahku. Aku melihat Rendra duduk di sisi tempat tidurku dan ketika aku menoleh ke sisi lainnya, Dimas tidak sedang menutup matanya. Dia duduk dan kepalanya bersandar ke kepala tempat tidur dan menoleh ke arah kami dengan pandangan mata yang tidak dapat kumengerti.


Suasana hening mendadak hampir selama seperempat jam. Rendra menatap Dimas, begitu pula Dimas dan aku tidak bisa mengerti apa yang mereka bicarakan dalam pandangan mata mereka.


Apa yang sebenarnya kalian lakukan?” tanyaku datar. Rendra beralih menatapku lalu kembali menatap Dimas.


Apa yang kamu rasakan pada Aden Ruanna.” Aku tersentak. Rasa sakitku hilang seketika. Segera aku duduk dan menatap Rendra penuh tanya. Rendra tidak menghiraukanku.


Ren, kamu bukan orang yang tepat untuk menanyakan hal itu.”


Oh, ya?!” tanyanya mengejek, “lalu kenapa bukan kamu saja yang tanya?”


Oke,” tantangku, “Dimas, apa kamu suka sama aku?” tanyaku sambil memandangnya, menanti jawaban yang sebenarnya tidak ingin kudengarkan.


Aku,” katanya terputus dan pandangannya menjadi merasa bersalah, “Aku hanya menganggapmu teman.”


Aku segera memalingkan wajahku. Sungguh jawaban yang tidak ingin kudengar. Sesuatu di dadaku mulai terasa sakit dan semakin sakit saja. Tapi aku harus bertahan dan tetap berani. Kenyataan terkadang memang menyakitkan, tapi harus tetap diterima.


Den,” panggil Dimas, “Aku ingin kamu berhenti.” Aku menoleh padanya dan memandangnya seakan aku telah diperlakukan tidak adil.


Kenapa?” tanyaku sedikit emosional dan semakin emosi saja, “Kenapa aku harus berhenti?! Aku harus berhenti dari apa?” dan benda asing yang hangat menetes dari mataku.


Kamu suka sama aku. Aku tahu itu.” katanya yakin. Malah membuatku tambah sulit menerima.


Dan kamu menghindar. Dari sesuatu yang seharusnya kamu hadapi.” tuduhku angkuh.


Itu karena aku nggak bisa membalas perasaanmu. Aku terlalu takut menyakiti kamu, jadi kupikir kamu akan berhenti. Tapi kamu tetap berlari dan begitu aku sadar, kamu memang sudah tersakiti. Dan sebelum semakin sakit, berhentilah.” pintanya dengan tenang, setenang senyum malaikatnya yang sekarang terasa semakin menyakitkan.


Itu keputusanku. Terserah padaku.” jawabku ketus sambil berpaling.


Pikirkan orang lain di sekitarmu! Apa kamu pikir teman-teman akan senang melihatmu menyakiti dirimu sendiri? Nggak, Den. Mereka nggak akan senang. Dan seseorang akan ikut terluka.” Nada bicaranya mulai naik dan lebih dalam, mengetuk pintu hatiku yang telah dia masuki secara tidak bertanggung jawab.


Siapa, siapa yang ikut terluka?” tanyaku datar karena aku yakin tak seorangpun dari mereka yang akan ikut terluka.


Aku.” jawab Rendra memecah keheningan yang sontak tercipta. Aku menoleh padanya, penuh pertanyaan. Apa ini harapan palsu lagi?


Kenapa? Kenapa kamu harus ikut terluka?” tanyaku menuduh.


Karena kamu terus ada di pikiranku. Karena, karena dan karena aku ternyata suka sama kamu. Aku sayang sama kamu, dan aku jatuh cinta sama kamu.”


Apa?!” kataku, tidak mempercayai pendengaranku. Kalau dia bilang suka, sayang dan selalu memikirkanku, bisa berarti kalau itu kasih sayang persahabatan. Tapi dia bilang dia jatuh cinta padaku?! Sahabatmu tidak akan pernah mengatakan dia jatuh cinta padamu. Ini terlalu asli kalau dibilang palsu!


Rendra, aku baru saja patah hati dan kamu tahu kan, nggak semudah itu aku bisa langsung balas perasaan kamu.” kataku meminta pengertian Rendra.


Apa itu artinya kamu nggak suka padaku sedikitpun?” tanya Rendra sambil menahan senyum di bibirnya. Seolah-olah dia tahu perasaanku yang memang tidak menganggapnya teman biasa. Kupikir aku pandai menyembunyikan perasaanku, tapi apakah sekentara itu sampai Rendra tahu?


Aku merasa aneh karena di sela-sela rasa sedihku karena patah hati, aku merasa ada perasaan yang bukan kesedihan tapi tidak tepat kalau disebut kebahagiaan. Tapi whatever-lah.


Kamu mau tetap di situ sama Dimas atau ikut aku?” tawar Rendra yang beranjak ke luar ruangan kesehatan sambil mengangkat alisnya dengan sangat, oh, tidak, sangat memesona.


Kalau harus memilih sih kurasa setiap orang akan memilih terus berjalan dan memandang ke depan daripada diam di tempat dan menatapi masa lalu yang tidak menjanjikan apapun, kan?! Dan itulah yang kupilih, berjalan lurus tanpa menoleh ke belakang.


Aku belum berani bilang kalau aku suka sama Rendra tapi dapat kurasakan kalau Rendra itu manusia biasa yang memiliki keajaiban—bukan seperti Dimas, seorang malaikat yang memang memiliki kekuatan magis—yang digambarkan Gibran seperti kecapi Orpheus, yang menarik perhatian siapapun yang mendengarnya dan gemanya yang memikat dapat mengubah batu menjadi suluh yang terang benderang dan cabang menjadi sayap yang lincah.


If you try hard to pulling me, offcourse. It will be. But I’m not sure.” kataku kemudian.


Let’s we see,” jawabnya sambil lagi-lagi mengangkat alisnya dengan, oh, sekali lagi tidak, sangat memesona, “Who out as a winner” .






In regards to the true Rendra and Dimas


For give me the great feeling


Yeah, it’s me!

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home