Friday, March 23, 2007

Untaian Kata-Kata Terindah


Gibran’s Love Poems

(Cuplikan dari sekian panjang kata-kata indah yang dialirkan Gibran dalam untaian demi untaian perkamen--Ranny)


Kejahatan benar-benar merupakan kekuatan yang dapat menandingi kebaikan dalam segi daya dan pengaruhnya.

Dan jiwaku gemetar menyaksikan ciptaan seni yang sedemikian itu (Shpinx) seperti ilalang yang gemetar menjelang prahara. Shpinx tersenyum padaku dan mengisi hariku dengan dukacita yang indah dan sukacita yang gundah.

Pengalaman dan keyakinan pribadi lebih utama daripada segala jenis pengetahuan demi pekerjaan.

Kesenian adalah ekspresi daripada semua yang mengalir, bergerak dan menjadi saripati jiwa seseorang.

Di balik telingamu terdapat telinga lagi yang tersembunyi, yang dapat mendengarkan bunyi yang amat indah laksana keheningan—bunyi yang tidak diciptakan oleh bibir dan lidah, tapi yang berasal dari balik lidah dan bibir, bunyi kesunyian yang manis, bunyi kegembiraan dan kepedihan, dan bunyi kerinduan akan sesuatu yang tak dikenal nun di dunia yang jauh.

Kebabasan merupakan garis awal bagi jiwa untuk bergerak maju.

Pohon eik tak dapat tumbuh di bawah bayangan pohon wilo dan sebaliknya.

Dan apakah aku merasa keberatan pada tusukan lembut tangan yang harum karena wangi-wangian serta berhiaskan batu-batu permata?

Marilah kita kesampingkan perbedaan kita— mari kita simpan dalam kopor emas lantas kita lemparkan ke dalam lautan senyum.

Seperti kecapi Orpheus, yang menarik perhatian siapapun yang mendengarnya dan gemanya yang memikat dapat mengubah batu menjadi suluh yang terang benderang dan cabang menjadi sayap yang lincah.

(Sanggarku) –bagaikan hutan, di dalamnya hidup ini mendambakan hidup, dan laksana gurun—aku berdiri di tengah-tengah gurun, yang tampak hanyalah lautan pasir dan samudera udara.

…alat-alat musik yang dapat bicara meskipun tidak dimainkan.

(Benda kuno) mengarahkan pandanganku ke masa lalu melalui jendela masa depan.
Benda-benda(kuno) itu menarik perhatianku karena merupakan buah akal manusia yang berbaris dalam derap ribuan kaki menerobos kegelapan menuju dunia terang—akal budi abadi yang menyelam dalam-dalam sampai dasar samudera hanya untuk bangkit membumbung ke Bima Sakti.

Siapa gerangan yang dapat meninggalkan rumah batu yang ditempatinya sepanjang waktu—meski rumah itu bagaikan penjaranya, karena ia tak sanggup dan tak ingin meninggalkannya seharipun.

Gibran Kahlil Gibran

Untaian Kata-Kata Terindah



SOMETHING NICE TO READ

Tuhan yang Maha baik memberi kita ikan,
tetapi kita harus mengail untuk mendapatkannya.
Demikian juga jika kamu terus menunggu waktu yang tepat,
mungkin kamu tidak akan pernah mulai.
mulailah sekarang........
Mulailah di mana kamu berada sekarang dengan apa adanya.

Jangan pernah pikirkan kenapa kita memilih seseorang untuk dicintai,
tapi sadarilah bahwa cintalah yang memilih kita untuk mencintainya.
perkawinan memang memiliki banyak kesusahan,
tetapi kehidupan lajang tidak memiliki kesenangan.
Buka mata kamu lebar-lebar sebelum menikah,
dan biarkan mata kamu setengah terpejam sesudahnya.

Menikahi wanita atau pria karena kecantikannya atau ketampannanya
sama seperti membeli rumah karena lapisan catnya.
Harta milik yang paling berharga bagi seorang pria di dunia ini adalah
hati seorang wanita.

Begitulah juga PERSAHABATAN, persahabatan adalah 1 jiwa dalam 2 raga.
Persahabatan sejati layaknya kesehatan,
nilainya baru kita sadari setelah kita kehilangan "nya"
Seorang sahabat adalah yang dapat mendengarkan lagu didalam hatimu,
dan akan menyanyikan kembali tatkala kau lupa akan bait-baitnya.
Sahabat adalah tangan Tuhan untuk menjaga kita.

Rasa hormat tidak selalu membawa kepada persahabatan,
tapi jangan pernah menyesal untuk bertemu dengan orang lain.......
Tapi menyesal-lah jika orang itu menyesal bertemu kamu.
Bertemanlah dengan orang yang suka membelah kebenaran.
Dialah hiasan dikala kamu senang dan perisai diwaktu kamu susah.
namun kamu tidak akan pernah memiliki seorang teman,
jika kamu mengharapkan seseorang tanpa kesalahan
Karena semua manusia itu baik kalau kamu bisa melihat kebaikannya
dan menyenangkan kalau kamu bisa melihat keunikannya
tapi semua manusia itu akan buruk dan membosankan
kalau kamu tidak bisa melihat keduanya.

Begitu juga kebijakan, kebijakan itu seperti cairan,
kegunaanya terletak pada penerapan yang benar,
orang pintar bisa gagal karena ia memikirkan terlalu banyak hal,
sedangkan orang bodoh seringkali berhasil dengan melakukan tindakan tepat.
Dan kebijakan sejati tidak datang dari pikiran kita saja,
tetapi juga berdasarkan pada perasaan dan fakta.

Tak seorangpun sempurna.
Mereka yang mau belajar dari kesalahan adalah bijak.
Menyedihkan melihat orang berkeras bahwa mereka benar meskipun terbukti salah.

Apa yang berada di belakang kita dan apa yang berada di depan kita
adalah perkara kecil berbanding denga apa yang berasa di dalam kita.

Kamu tak bisa mengubah masa lalu......
tetapi dapat menghancurkan masa kini dengan mengkhawatirkan masa depan.
Bila kamu mengisi hati kamu....
dengan penyesalan untuk masa lalu dan kekhawatiran untuk masa depan,
kamu tak memiliki hari untuk kamu syukuri.
Jika kamu berpikir tentang hari kemarin tanpa rasa penyesalan
dan hari esok tanpa rasa takut,
berarti kamu sudah berada dijalan yang benar menuju sukses.
Regards to My Friends Of Struggle
Let's change the world

Thursday, March 22, 2007

nobody's perfect


NOBODY’S PERFECT






Emily


Kami berempat berada di perpustakaan. Aku tidak pernah berhenti memandang Orion. Tidak hanya itu, aku juga tidak akan pernah berhenti mengaguminya. Dia hebat. Sangat hebat. Aku sangat menyukainya. Pribadinya, dirinya, bakatnya, semuanya.


Orion sedang membuka buku anatomi hewan. Aku duduk di sebelahnya dan ikut melongok buku itu. Aku terbelalak.


“Ry,” nama panggilan Orion, “buku itu kan pake bahasa Inggris!” pekikku.


“Aku cuma lihat gambarnya aja. Kubaca sekalipun aku nggak ‘kan tahu isinya.” jawabnya sambil menoleh padaku dengan ekspresi yang luar biasa bodohnya. Mary Jane tertawa keras-keras sedangkan Stella nyengir mengejek. Aku tahu Orion hanya merendah karena menjaga perasaan kami, terutama perasaanku, yang bahasa Inggrisnya paling payah. Dia berbohong waktu mengatakan tidak tahu isinya. D-i-a t-a-h-u.


“Heh, memangnya kalau kamu baca buku anatomi kamu bisa tahu kalau NO2- itu anion atau kation?” tegur MJ yang sedang menghapalkan anion kation sebelumnya. Orion terlonjak.


“Ya, ampun!! Aku baru inget sekarang!” katanya kaget karena baru ingat kalau setelah ini ada ulangan Kimia, lalu buru-buru membuka buku catatannya.


“Kalau Orion, sih, nggak usah belajar! Nanti juga dapat bagus!” kata Stella—yang terdengar lebih persis ejekan—sambil mengambil kursi di sebelah MJ.


“Nilai bagus dapatnya juga dari belajar, gals!” balas Orion sama sengitnya. Kuakui itu benar tapi tidak sepenuhnya benar buat Orion. Kata-kata Stella memang lebih pas buat Orion.


“Tapi kenapa, ya, Ry, walaupun aku sudah belajar semalaman tapi nilaiku nggak seperti yang kuingini.?” tanyaku putus asa sambil meletakkan kepalaku di meja.


“Eehh, nggak heran kalau kamu berharap dapat Over Outstanding (terlalu luar biasa).” gurau Orion yang diikuti tawa MJ dan Stella. Ketawain aja, mereka memang nggak pernah mengalami hal itu, sih.


“Itu kenyataan. Contohnya ulangan Biologi kemarin. Aku sudah semalam suntuk belajar tapi cuma dapat Acceptable (cukup).” protesku kemudian.


“Kamu nerveous, kali?! Mil, Tuhan pasti ngasih sesuatu yang sebanding dengan apa yang kita lakukan.” hibur Orion dengan lembut, seolah dia paham perasaanku. Dia baik sekali.


Mungkin itu berlaku untuk Orion, tapi nggak sepenuhnya berlaku buat aku. Aku yakin, walaupun Orion hanya belajar Kimia selama setengah jam sebelum ulangannya dimulai, dia akan mendapat nilai bagus. Minim Exceed Expectation (di luar perkiraan).


Tapi bagaimana dengan aku? Aku belajar mati-matian untuk ulangan hari ini. Coba lihat hasilnya besok. Kuharap Tuhan tidak melupakan aku. Hanya Dia yang mampu menolongku.


“Oh, MJ! Berhentilah bernyanyi!”






Mary Jane


“Ya, ampun! Biarkan saya berkreasi!” protesku pada Orion yang menyuruhku menutup mulutku, berhenti bernyanyi karena dia tidak bisa konsentrasi.


“Masih sempat aja nyanyi! Apa kamu lupa kata-katamu kalu saat ulangan dimulai saat itulah vonis dijatuhkan?” balas Orion. Sial! Sejak kapan, sih, dia pandai membalas kata-kataku?!


Aku memang tidak sepandai mereka bertiga dan aku harus serius belajar untuk semua jenis pelajaran hanya untuk melihat nilai Acceptable di atas kertas ulanganku.


Aku tidak sepandai Orion yang walaupun hampir selalu lupa belajar untuk ulangan dan belajar sekitar satu jam sebelum ulangan, bisa mendapat nilai Outstanding pada setiap mata pelajaran baik itu sains, seni dan olahhraga.


Aku tidak seperti Stella yang walaupun tidak belajar tetap mendapat minimal Acceptable. Kecuali seni, ilmu non-eksak dan bahasa asing. Aku juga tidak seperti Emily yang hebat dalam pelajaran yang menurut kami bertiga pelajaran sial yaitu Fisika.


Tapi bagiku itu tidak menjadi masalah besar yang pantas dikeluhkan dan disesali. Aku sadar aku punya hal lain yang bisa kubanggakan. Setiap orang memang memiliki keistimewaannya sendiri, kan?


Well, aku memang tidak bisa bermain alat musik apapun seperti Orion yang mampu memainkan gitar, piano dan biola dengan lumayan baik tapi aku bisa menyanyi jauh lebih baik darinya. Aku juga pandai bersandiwara (yang disebut Stella Ilmu berbohong). Aku juga bisa berbahasa asing lebih fasih daripada Orion, Stella dan Emily walaupun ujian tertulisnya tetap lebih baik Orion.


Huh, kurasa aku terlalu memaksakan diri. Aku hanya berusaha menerima kenyataan yang ternyata tidak terlalu dapat kuterima dengan tulus. Kalau tidak begitu kenapa dari tadi aku selalu membanding-bandingkan diriku dengan Orion? Dan kenapa aku malah pamer kelebihan? Jelas aku hanya menghibur diri.


“Bisa nggak sih kamu urai rambutmu, Stel? Aku risih lihat kamu ngepang rambut jadi dua terus! Tahu ga, kamu sudah cukup mirip Betty La Fea dengan kaca matamu itu!”




Stella


“Apa yang membuatmu berpikir kalau aku peduli?” jawabku ketus. Aku lumayan sering mendengar kata-kata sejenis itu dari mulutnya. Aku tidak mau menggubrisnya. Dia malah membuat cuaca makin panas.


“Nanti nggak ada yang suka sama kamu loh!” goda Emily. Aku tersenyum kecut.


“Persetan dengan mahkluk itu!” jawabku secuek mungkin. Aku tidak mau mereka tahu kalau aku sangat memedulikan hal itu. Aku ingin sekali ada cowok yang suka padaku. Aku terus-menerus merasa iri pada Orion yang menjadi satu-satunya di antara kami yang sudah pernah punya dan sudah punya cowok.


Oh, oke ini ulangannya. Lumayan susah juga. Tapi mungkin aku bisa dapat nilai Outstanding pada ulangan ini. Kurang satu nomor lagi yang belum kukerjakan tapi aku sudah melihat Orion menyerahkan kertasnya dan keluar kelas. Emily dan MJ menampakkan wajah kesulitan yang penuh konsentrasi saat aku melihat ke arah mereka.


“Stella,” kataku pada diri sendiri, “tidak ada waktu untuk merasa iri pada orang lain. Selesaikan ini dan kamu bisa keluar.” Aku sudah selesai sekarang. Aku menyerahkan kertas ulanganku dan melangkah keluar. Aku melihat Orion duduk di tepi koridor.


“Cepet banget!” tegurku. Orion menoleh dan tersenyum simpul yang kuartikan sebagai kata-kata soal-soalnya lumayan gampang.


“Proyekmu gimana?” tanyanya mengalihkan topik pembicaraan. Aku menulis tentang masalah sudut pandang pengarang pada novel-novel ternama. Masih setengah jadi dan sekarang aku krisis informasi.


“ Belum,” jawabku, “krisis informasi, nih! Kalau kamu?” Proyek kami sama yaitu sastra. Orion mengangkat bahasa yang digunakan pengarang serta pengaruhnya pada bahasa nasional. Oh, aku ajdi ingat sesuatu yang penting. Aku lupa menambahkan pengaruhnya pada penjualan!! Oh, Tuhan!


“Sudah hampir selesai. Tinggal menampilkan fakta seberapa banyak yang suka membaca buku yang memakai bahasa baku atau bahasa slang.” jawabnya. Orion selalu satu langkah lebih maju daripada aku. Selalu saja.


“Heran kalau kamu belum, Mawar!” kataku dimanis-maniskan. Mawar inilah yang membuat bunga-bunga lainnya menjadi mati dan tidak menarik. Kalau Orion mawar aku memang lebih mirip bunga rumput. Jelek, tidak menarik. Walaupun punya daya tahan tubuh yang kuat siapa sih yang memuji bunga rumput itu cantik? Mereka toh lebih suka mawar yang rentan itu.


“Kemarin aku sendirian di rumah jadi nggak ada yang bisa kukerjakan selain proyekku itu.” jelasnya merendah. Aku menangkap sesuatu yang lain dari sikap rendah hatinya itu. Aku malah merasa dia menyombong dan memamerkan diri.


“Berapa nilaimu, Stella?” tanya Emily esok harinya ketika hasil ulangannya selesai dibagikan. Aku tersenyum puas memandangi kertas ulanganku.


Exceed Expectation, 9/10!” kataku dengan senyum mengembang sebesar bunga matahari. Aku pantas mendapatkannya karena aku sudah belajar semalaman.


“Aku dapat Acceptable, 7.5/10, sama seperti Emily.” sahut MJ tidak seberapa senang. Lalu serentak kami menoleh ke arah Orion.


Outstanding, 10/10.” katanya biasa saja. Hatiku berkeriut. Padahal dia hanya belajar 30 menit sebelum ulangan dimulai.


“Hebat! Benar-benar mawar yang memesona!” seruku menutupi ketidakpuasanku. MJ dan Emily melongo kaget tapi kemudian bertepuk tangan.


“Padahal kamu belajar cuma setengah jam.” kata Emily.


“Konsentrasi mendengarkan penjelasan guru.” jawab Orion tetap rendah hati.




Orion


“Besok psikotest-nya dibagikan, ya?” lanjutku mengalihkan arah pembicaraan. Aku tidak mau lagi membahas tentang keberhasilanku dan mawar-mawaran itu.


Dalam psikotest itu aku yakin Stella akan melihat angka di atas 130 di kertas itu. Yah, baik untuknya. Dan Emily, dia sebetulnya pintar hanya kurang percaya diri. Juga MJ. Dia cool.


“Hei, Mawar! Lihat!” seru Stella sambil merampas kertas ulangan dari tanganku.


“Berhenti memanggilku seperti itu!” tegurku. Aku nggak suka disebut begitu. Rasa-rasanya kata itu terdengar menjadi Ms. Perfect di telingaku. Aku benar-benar risih.


“Terserah padaku, dong!” balas Stella memprotes. Aku mengerutkan dahiku. Perasaan sebal menyelimutiku. Bagaimana mungkin dia bisa bilang “terserah padaku”? Dia nggak pernah memikirkan perasaan orang lain. Terlalu cuek. Tidak, bukan cuek, terlalu egois. Karena aku juga cuek tapi aku selalu menjaga perasaan orang lain dengan menjaga kata-kataku.


“Tapi aku keberatan!” sahutku tak kalah sengit. Lalu semuanya diam.


“IQ-ku 120.” kata Emily esok harinya saat hasil psikotest-nya dibagikan.


“118,” kata MJ, kelihatan agak kecewa.


“135.” sahut Stella sambil tersenyum puas. Tuh kan apa kataku. Serentak mereka menoleh ke arahku.


“Jangan memandangku seolah aku ber-IQ 170, ah! Aku 129!” jawabku tetap puas. Stella segera merampas kertasku dan setelah dia melihatnya dia bilang tidak mungkin karena aku adalah sekuntum mawar yang memesona.


“Apanya yang nggak mungkin sih, Stel? Itulah IQ-ku.” jawabku mengontrol emosi. Stella harus berhenti menyebutku begitu. Aku tidak sesempurna yang dia katakan dan aku tidak suka.


Stella, MJ dan Emily meneliti kertas itu. Halo, nggak ada yang salah di situ. Nggak mungkin kan kalau pengetiknya salah mengetik angka 139 dengan 129?


“Tapi kamu mawar! Kamu punya warna apapun!’ protes Stella. Apa sih yang membuatnya merasa tidak puas? Ini kan yang dia inginkan?


“Kutegaskan pada kalian. Aku tidak sempurna. Kuakui memang kalau aku bisa semua mata pelajaran. Tidak pernah mendapat nilai di bawah Acceptable apapun itu. Entah menggambar, atletik maupun main tiga jenis alat musik. Bisa menyanyi dan menari. Aku memang punya banyak warna,” aku menarik napas sambil melihat reaksi mereka, “
tapi, satu yang kalian perlu tahu. Tidak satupun dari warna itu memiliki konsentrasi lebih banyak. Semua sama. Aku hanya sekedar bisa. Aku bahkan lebih suka memiliki satu warna tapi benar-benar istimewa.” lanjutku memuntahkan semua yang selama ini kurasakan dengan putus asa.


“Ry, aku nggak tahu kalau kamu merasa seperti itu. Aku selalu ingin seperti kamu. Cantik, pinter, berkepribadian baik dan disukai semua orang.” kata Emily lembut.


“Kalau semua orang memandangku seperti itu tentu saja. Tapi kamu nggak akan tahan. Disebut Mawar hanya akan membuatmu diterbangkan jauh ke langit dan membuatmu merasakan bagaimana rasanya dijatuhkan dari sana.” kataku tenang tapi penuh penekanan.


“Kami iri padamu, Ry!” kata Stella pelan. Iri katanya? Oh, ayolah, yang benar saja!


“Setiap orang punya hartanya masing-msing. Berhenti melihat apa yang kumiliki dan lihatlah apa yang kalian miliki.” kataku kemudian. Mereka semua menunduk memikirkan apa yang baru saja kukatakan.


“Stella! Kamu jenius! Dan siapa sih yang bisa menandingi kesederhanaanmu? Kamu bahkan nggak peduli apa yang orang lain katakan tentang dirimu. Kamu terus menjadi dirimu sendiri.” kataku pada Stella. Pandangan matanya menatap lurus ke depan, menerawang.


“Tapi aku tetap tidak sehebat kamu.” katanya takut-takut.


“Jangan jadikan aku sebagai standar kalian!” kataku agak membentak. Aku tahu MJ dan Emily juga merasa sama tidak puasnya dengan Stella.


“Mary Jane! Aku tahu kalau kamu tahu apa yang kau punyai tapi tidak dimiliki semua orang. Ingat, itu yang membuatmu istimewa! Itu yang membuatmu berbeda dari yang lainnya. Yang membuatmu maju ke depan adalah apa yang kamu miliki bukan apa yang kumiliki atau orang lain miliki. Jadilah dirimu yang terbaik!”


“Emily! Mana yang menurutmu lebih penting, proses atau hasil?” Emily berpikir enggan.


“Aku tahu, proses, kan? Tapi, Ry, proses dilakukan untuk mencapai hasil.” sanggahnya.


“Apa menurutmu hasil bisa menjadi salah kalau prosesnya benar? Seperti ulangan, belum tentu nilai yang baik di kertas ulangan itu adalah murni hasil belajar. Bisa saja itu hasil yang lain”, aku menarik napas panjang lalu melanjutkan, “Dalam proses apa yang lebih penting dari kerajinan, ketekunan, dan sikap pantang menyerah? Kerja kerasmu adalah kunci menuju semua itu.” Mereka masih tidak mengatakan apapun dan tidak berani memandang mataku.


“Justru aku yang seharusnya iri pada kalian. Kalian istimewa. Bukan karena kalian punya semuanya tapi karena kalian memiliki lebih dari apa yang orang lain miliki.”


“ITU SAMA SEKALI TIDAK BENAR!” sergah mereka serentak.


“Orion, kurasa kamu masih belum tahu kelebihanmu yang satu ini.” kata Emily pelan.


“Aku punya bakat lain lagi?? Kurasa sudah cukup dengan semua bakat-bakatku itu. Aku, hanya perlu satu bakat yang paling menonjol.” jawabku penuh keluh.


“Oh, ayolah Orion! Jangan bodoh, ah! Kamu tahu apa yang kupikirkan, kurasakan dan tahu apa yang akan kulakukan dalam setiap kondisi.” pancing Stella.


“Kamu memahami kondisi kami, kondisi yang kami sendiri tidak sadari.” Emily ikut memancing. Eh, tapi aku kemudian menyadari bahwa aku terpancing layaknya ikan. Aku tahu!!


“ORION!! Kamu bisa memberikan solusi pada orang-orang yang bermasalah!” teriakku pada diriku sendiri.


“Aku heran, dengan kepala seperti itu kamu cukup lama menyadarinya!” ejek Stella.


“Yah, kupikir kalian tahu jawabannya.” kataku tersenyum menggoda.


“Yeah, NOBODY’S PERFECT”

never hate my girl



NEVER HATE ME, MY GIRL


Airlangga Bumiranggarajasa Candrasangkala



Aku bergerak gelisah di tempat dudukku. Aku harus pulang tepat waktu untuk membereskan rumahku yang mirip kapal pecah agar aku terhindar dari amukan dahsyat kedua orangtuaku yang kedahsyatannya melebihi kekuatan badai Carolina. Mana Hendra belum selesai mengerjakan tugas kami yang harus dikumpulkan hari ini juga!


Hen, cepetan, dong! Aku belum beresin rumah, nih! Bisa dibunuh aku kalau bapakku tahu keris kesayangannya nancep di saluran pembuangan kamar mandi!” protesku gelisah. Hendra menoleh dan tersenyum mengejek.



Bum, Bum! Kamu ini nggak sembodo sama namamu. Lagian, bisa-bisanya, sih, cewek-cewek tertipu sama sandiwara dan penampilan sok coolmu itu?” ejeknya.



Ahhh, sudah diam! Kamu terlalu banyak omong!” perintahku sambil mendelik padanya. Hendra menyambar tasnya dan bergegas ke ruang guru mengumpulkan tugas kami. Aku mengikutinya dari belakang.



Ketika aku melihat jam tanganku yang menunjuk pukul 16.00, aku spontan berlari menuju pintu gerbang melewati sisi kiri sekolah, koridor labolatorium, yang sepi dan suram mencekam.



Saat aku berlari melewati depan lab Kimia, pintu lab menjeblak terbuka secara tiba-tiba sebelum aku sempat memerintahkan kakiku untuk berhenti. Aku jatuh terduduk, masih belum sadar apa yang sebenarnya terjadi, dunia berputar-putar dalam pandanganku dan bibirku mulai terasa pedih.



Ketika pandanganku kembali, seorang gadis keluar dari lab itu sambil berlari-lari menghampiriku. Aku tidak memerhatikan wajahnya, hanya tahu bahwa dia bersimpuh di sisi kananku, karena pandanganku tersita oleh darah segar yang mengalir liar menodai kemeja putihku.



Maaf, ya?! Aku sungguh nggak bermaksud membunuhmu. Kupikir semua orang sudah pulang jadi aku nggak lihat-lihat.” jelasnya kacau dengan suara gemetar. Aku mengangkat wajahku untuk memandangnya. Gadis berambut hitam pekat itu berkulit kuning pucat dengan mata lebar berbola mata hitam.



Aku terpaku sejenak. Aku mengenalinya sebagai Branch Rajendradewi, juniorku yang diam-diam selalu kuperhatikan semenjak dia mulai memandangku dengan sinar mata yang aneh ketika aku bersama dengan cewek-cewek. Entah kenapa sejak saat itu, perhatianku tersita sepenuhnya olehnya. Dia, walaupun tidak begitu cantik, tampak sangat menarik bagiku, jauh lebih menarik daripada cewek-cewek yang selalu merubungiku itu.



Aku tahu namanya dari badge yang tertempel di dada kanannya. Selain itu aku hanya tahu dia murid kelas X yang juga mengenakan lencana Better English sepertiku. Kami sering sekali berpapasan ketika pindah kelas. Dan saat itulah kami mulai saling berpandangan.



Branch membongkar tasnya dengan tergesa-gesa. Dia mencari sesuatu yang ternyata tidak ditemukannya. Lalu dia menarik kasar scraf putih dari kepalanya dan menempelkannya pada bibirku yang terasa makin pedih. Dia berusaha bergerak selembut mungkin, tapi percuma karena getaran hebat tetap terasa.



Pasti sakit sekali. Maaf, ya. Aku sungguh nggak sengaja.” katanya cemas. Aku lama mencerna kata-katanya karena aku sibuk memandangi wajahnya. Begitu aku sadar akan apa yang dikatakannya aku berpikir keras untuk mengatakan sesuatu. Ayo, Bumi, katakan sesuatu yang keren, yang bisa menawan hatinya, perintahku pada diriku sendiri, yang tidak mau menurut karena terlalu terpesona oleh aura Branch.



Oh, ayolah! Jangan malu-maluin di depan Branch, ah! Tapi tetap tidak ada yang keluar dari mulutku. Suaraku tercekat karena Branch baru sekali ini berada sangat dekat denganku. Dia sungguh sangat memesona.



Di tengah kesibukanku memerhatikannya, aku teringat rumahku yang super-duper berantakan dengan keris menancap di saluran pembuangan kamar mandi. Oh, tidak! Mati aku!



Aku segera bangkit dan melepas kemejaku yang berlumuran darah segar, bersiap-siap melaju ke rumah dengan kecepatan cahaya.



Bibirmu masih terus berdarah, pakai ini untuk menghentikan pendarahannya.” kata Branch yang sekarang berdiri di hadapanku, meletakkan tanganku di atas scraf putih yang menahan pendarahan bibirku. Aku kemudian terpikir sesuatu yang bisa membuatku terus berurusan dengan Branch.



Aku meraih tangannya dan menyerahkan kemejaku sambil tersenyum luar biasa komersil. “Tolong, ya! Aku buru-buru.” kataku sambil berlari memburu waktu, berlomba dengan orang tuaku yang sekarang dalam perjalanan pulang, meninggalkan Branch di tempatnya.






* * *



Esok harinya, saat pelajaran belum dimulai, aku duduk di depan kelas bersama Hendra membicarakan pertandingan AREMA-PERSIB. Sebenarnya itu hanya kamuflase. Aku duduk di depan kelas karena aku menunggu kedatangan Branch, yang kelasnya ada di depan kelasku, melanjutkan rencanaku agar aku bisa tetap berhubungan dengannya.



Kemudian aku melihat Branch yang tampak cantik dengan scraf biru berenda, berjalan menuju kelasnya. Dia melihatku secara terang-terangan, seolah mengabaikan aku yang juga memandangnya.



Hei Branch!” sapaku. Branch kemudian berjalan ke arahku dengan wajah penuh penyesalan. Sampai tepat di hadapanku dia hanya memerhatikan bibirku.



Kenapa nggak diobati?” tanyanya datar. Aku bisa melihat kecemasan yang dia sembunyikan dari wajahnya yang manis. Aku menahan senyumku, berusaha tetap terlihat cool.



Aku baik-baik saja kok.” kataku sambil memandangnya lekat-lekat, “Tapi aku ternyata tidak baik-baik saja.” lanjutku berekspresi lemah. Branch memandangku penuh tanya.



Semalaman terasa pedih dan aku nggak tahu harus kuapakan supaya rasa sakitnya berhenti.” kataku memancing. Hendra mulai tahu maksudku dan Branch masih berusaha mencernanya.



Kurasa itu akan sangat menggangumu. Ya, kan? Pasti tidurmu nggak nyaman dan kamu nggak bisa konsentrasi kalau bibirmu terus-terusan pedih. Aku juga nggak bisa membayangkan gimana kamu bisa makan makanan berkuah yang menjadi menu makan siang kita sehari-hari?” kata Hendra mendukung rencanaku. Dia sahabat yang oke punya, yang selalu bisa mengerti apa yang kupikirkan.



Aku akan tanggung jawab. Gimana kalau di belakang aula setiap pagi, jam makan siang dan setelah pulang sekolah?” tanyanya dengan penuh penyesalan. Branch menangkap maksud kami. Kurasa dia merasa terpojok. AKU BERHASIL!! Sementara hatiku bersorak-sorak gembira bel berbunyi dan Branch mengatakan kalau dia menungguku di sana nanti.



Jam makan siang yang kunanti-nantikan datang juga. Aku segera menghambur ke belakang aula sementara Hendra, seperti murid-murid yang lain, pergi ke kantin untuk makan siang. Ternyata Branch sudah ada di sana. Aku dengan sedikit segan duduk di sebelahnya.



Kamu mau makan? Aku cuma bawa satu, tapi ini buatmu aja.” katanya sambil menyodorkan kotak plastik berisi makan siang tanpa kuah. Aku memandangnnya sebentar lalu kembali menatap kotak itu bermenit-menit lamanya.



Branch mengambil kotak itu dari pangkuanku, mengambil sendok dan menawarkannnya ke depan mulutku. Ya, ampun! Dia menyuapku! Bukan, kurang suffix –i.



Dia mengangkat alisnya dengan sangat cantik karena aku tak kunjung membuka mulutku. Aku yang tidak bisa berpaling dari wajahnya membuka mulutku dengan patuh. Aku mengunyah dan menelan tiap-tiap entah-apa-itu tanpa merasakan karena rasanya tidak akan selezat memandang wajah Branch.



Setelah isi kotak itu habis, Branch meletakkan tangannya di daguku dan menolehkan wajahku ke arahnya—jantungku serasa berhenti berdetak saat itu—lalu dia mulai mengolesi luka itu dengan obat yang luar biasa perihnya, sampai aku meringis kesakitan.



Diam, ah! Jangan manja!” perintahnya padaku. Entah kenapa aku malah kesenangan dimarahi seperti itu. Apalagi kalau aku memandang wajahnya yang dekat sekali denganku, wajahnya yang serius, yang menampakkan rahasia yang luar biasa memikat.



Berhenti memandangku seperti itu atau aku akan memukulmu.” ancamnya. Aku segera tersadar dari sihir yang dia ciptakan sendiri. Bukan salahku kalau aku memandangnya seperti itu. Salahnya, karena dia begitu menawan.



Aku lumayan bisa mengontrol diriku sendiri dari pengaruh sihir Branch saat dia mengobatiku setelah pelajaran selesai. Dia melakukannya pelan-pelan, selembut yang dia bisa. Aku merasakan sesuatu yang mengusik ketenangan jemarinya saat mengobati bibirku, tapi aku tidak tahu getaran apa itu. Tapi aku tidak peduli karena aku sibuk berdoa agar bibirku tidak pernah sembuh.



Pagi-pagi sekali aku sudah datang dan menunggu Branch di belakang aula. Setelah dia datang yang terjadi tidak banyak berbeda dari kemarin. Aku terus saja kehilangan kontrol diriku atas sihir Branch dan dia mengancam akan memukulku kalau aku tidak berhenti memandangnya seperti itu. Dan meskipun aku berulang kali lepas kontrol, Branch tidak memukulku. Semuanya cuma ancaman saja.



Aku datang duluan saat jam makan siang. Aku nggak tahu kenapa aku yang cool ini, yang jual mahal ini, jadi suka ngejar-ngejar cewek. Bukan, lebih tepatnya jadi suka ngejar-ngejar Branch. Padahal biasanya cewek-cewek datang dengan sendirinya, tanpa aku harus bersusah payah memikat mereka. Aku biasa melihat cewek cantik, seperti ibuku dan tiga saudara perempuannya (walaupun mereka berempat sudah kepala tiga, mereka tetap luar biasa cantik) tapi aku tidak pernah melihat cewek seperti Branch. Aku yakin, semua orang tidak akan pernah bosan melihatnya.



Di tengah lamunanku, seseorang datang, semula kukira Branch yang datang, tapi ternyata Ryezsha, salah seorang diantara cewek-cewek itu.



Hai, Bumi! Kok sendirian?!” sapanya basa-basi sambil tersenyum semanis yang dia bisa, kukira, tapi hasilnya mengecewakan.



Ngapain kamu ke sini?” tanyaku dingin. Aku sebenarnya ingin berdua saja dengan Branch. Aku berharap Ryezsha cepat pergi dari sini.



Hendra yang bilang,” jawabnya yang aku yakin seratus persen bohong, dia pasti memaksa Hendra, “Aku ke sini cuma mau nemenin kamu.” lanjutnya sok manja. Ukh, aku jadi ingin muntah.



Aku ada janji sama seseorang di sini, lagian kalau aku sendirian aku sama sekali nggak ingin kamu temani.” kataku tetap dingin, berharap dia segera pergi. Ryezsha pergi setelah berkata sesuatu yang terdengar bagai gumaman kacau di telingaku. Tapi apa peduliku, Branch sudah datang sekarang.



Dia duduk di sebelahku tanpa berkata apapun, aku lupa akan ancamannya dan memandangnya lekat-lekat, kembali dia mengancamku sambil mengeluarkan dua kotak plastik dan kemeja putihku.



Aku sungguh-sungguh akan memukulmu kalau kamu tetep seperti itu,” ancamnya sok serius, “kemejamu dan makan siangmu.” lanjutnya sambil menyodorkan benda-benda itu. Aku diam saja menatapi kemeja yang sudah dicuci dan kotak makan itu.



Aku mendengar Branch menarik napas panjang lalu mengambil kemeja dari pangkuanku dan memasukkannya ke dalam tasku. Dia juga mengambil kotak makan itu dari pangkuanku, membukanya dan bersiap-siap menyuapku (seperti biasa, kurang suffix-i).



Kenapa sih kamu nggak mau makan sendiri? Pasti di rumah kamu juga disuapi!” katanya mengejekku dengan raut muka jelek paling cantik yang pernah kulihat.



Aku tertawa terbahak-bahak menertawakan Branch. Dia mencibir lalu memasukkan sepotong besar entah-apa-itu dengan tangannya saat mulutku terbuka lebar menertawakannya. Aku segera diam, bukan hanya karena mulutku penuh tapi juga karena Branch, untuk pertama kalinya, tertawa lepas di depan mataku. Aku membalasnya dengan memasukkan entah-apa-itu kedalam mulutnya dan setelah itu kami perang–perangan makanan.






* * *



Sudah seminggu lamanya kerutinan ini berlangsung. Pagi hari sebelum pelajaran, jam makan siang dan sore hari setelah pelajaran selesai menjadi saat yang kunantikan setiap hari. Seolah-olah aku bangun setiap harinya hanya karena waktu-waktu ini. Ancaman Branch setiap kali aku memandangnya, getaran pada jemarinya yang mengacaukan kelembutannya dan perang makanan tanpa tawa tanpa kata-kata selalu membuatku merasa sangat senang.



Lagi pula aku selalu merasa aman kalau bersamanya, aku tidak perlu bersandiwara, tidak perlu berpura-pura menjadi orang yang berkepribadian keren, cowok yang cool, yang menjadi idaman setiap cewek. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku selalu merasa seperti itu. Tapi Branch tidak pernah mau menunjukkan apa yang dirasakannya. Aku selalu bisa melihat dia menyembunyikan suasana hatinya dariku. Walaupun aku tahu apa yang disembunyikannya, aku tetap ingin dia menunjukkan suasana hatinya.



Hari Senin sore, sembilan hari setelah itu, aku menyadari luka di bibirku itu sudah mengering. Berbagai macam pikiran yang tak kuinginkan terbayang dalam kepalaku. Kalau aku sudah sembuh, aku tidak punya alasan apapun untuk terus bersamanya. Aku akan kehilangan waktu-waktu yang kunantikan. Dan yang paling ekstrim, aku akan kehilangan Branch.



Segera setelah itu aku mengelupasinya lagi, sehingga darah kembali merebak. Kalau sudah begini aku akan punya lebih banyak waktu dengan Branch. Aku tersenyum lebar, dengan darah mengalir deras dari bibirku. Aku benar-benar bahagia.



Hari berikutnya aku puas melihat ekspresi wajah Branch yang kembali mengakhawatirkanku. Karena dia datang agak siang, jadi dia mengobatiku di kelasku. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya sesekali memandangku dengan galak. Kurasa dia marah. Tapi, Branch, seandainya kamu tahu ini kulakukan karena aku ingin bersamamu … .



Katakan padaku, apa yang kamu lakukan pada bibirmu?!” bentaknya sambil memandangku dengan tajam pada saat jam makan siang. Dia kelihatan sangat marah.



Aku nggak ngapa-ngapain, kok! Sungguh!” kataku sepolos mungkin, berharap kemarahannya mereda. Branch memandang jauh ke dalam mataku, mencari kebenaran yang tidak dia temukan, jadi dia terpaksa percaya pada kata-kataku. Dia berpaling, menembunykan perasaan tidak bisa menerima dariku.



Sorry, deh! Nggak akan terjadi lagi! Bener!” bujukku meyakinkannya.



Awas saja kalau terjadi lagi!” ancamnya tanpa memandangku, dengan suara yang lebih mirip rajukan daripada ancaman. Dia menunduk, kelihatannya sangat cemas, kelihatannya sangat sedih. Sesuatu yang kali ini disembunyikannya tak dapat kumengerti.



Yang terpikir di kepalaku saat itu hanyalah bagaimana aku bisa mengenyahkan segala macam kecemasan dan kesedihan yang mengusiknya, yang selalu disimpannya sendiri. Aku ingin dia jujur padaku, agar aku bisa meringankan hatinya. Sungguh hanya itu, aku hanya ingin dia tersenyum, tertawa lepas dan mengancamku dengan galak seperti biasanya.



Branch melepaskan diri dengan paksa. Dia berlari dengan membekap mulutnya, meninggalkan aku yang baru sadar akan apa yang baru saja kulakukan. Apa yang terasa di bibirku sudah bukan lagi bibir Branch yang lembut, hanya rasa pedih akibat luka yang kukelupasi kemarin. Yang kulakukan hanyalah duduk di sana sampai jam makan siang habis, menyesali apa yang terjadi.






Branch Rajendradewi






Jantungku berdebar jauh lebih cepat dari biasanya sejak aku meninggalkannya tadi. Aku merasakan wajahku memanas dan seluruh sarafku bergetar hebat. Aku membencinya lebih dari siapapun di dunia ini. Aku sudah terpaksa mengobatinya dan bertanggung jawab atas apa yang kulakukan. Sekarang dia malah merampas ciuman pertamaku!!



Aku berlari melewati belakang koridor lab dengan perasaan sebal luar biasa. Ketika aku melewati tikungan, aku menabrak seseorang, yang ternyata Hendra, teman baik Bumi. Hendra dan Bumi terkenal sebagai ace sekolah ini. Mereka berdua populer di antara kelas X.



Branch?? Kamu kenapa?” tanyanya sambil membantuku berdiri. Dia menoleh ke sana kemari, mencari Bumi, mungkin.



Hendra dan aku duduk di kantin yang sudah mulai sepi. Aku melihat Ryezsha—cewek yang selalu ngekorin Bumi ke manapun Bumi pergi—memandangiku dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Aku sudah tidak bisa menghiraukan apapun, termasuk Ryezsha dan murid-murid lain yang menatapku dengan iri karena aku bisa duduk semeja dengan Hendra.



Aku nggak tahu apa yang sudah dilakukan Bumi padamu, tapi dia bukan orang yang jahat. Apapun yang dilakukannya tadi, kurasa tidak ada maksud jelek di baliknya.” bujuk Hendra berusaha meyakinkanku. Percuma, apapun yang siapapun katakan tentang kebaikan Bumi tidak akan kupercayai. Bumi itu mahluk paling kejam di dunia ini!!



Dia itu orang dan teman yang baik. Bener! Aku kenal dia, kok!” lanjut Hendra tetap berusaha membuatku percaya padanya. Oh, kalau gitu dia tahu dong kalau Airlangga Bumiranggarajasa itu adalah penipu terbesar sepanjang sejarah? Bisa-bisanya dia bilang cowok playboy sok cakep sok cool tukang sandiwara itu orang dan teman yang baik?! Oh, aku hampir saja lupa kalau Hendra itu teman baiknya Bumi.



Mungkin dia memang orang dan teman yang baik. Tapi aku yakin dia bukan laki-laki yang baik!” kataku ketus. Hendra tersenyum menggoda.



Jadi kamu melihatnya sebagai seorang laki-laki?” Aku berjengit. Hendra malah menikmati ekspresiku.



Well, aku nggak melihatnya sebagai cewek?” kataku ngeles. Tapi Hendra malah tersenyum lebih lebar lagi. Dalam hati kuakui, kecintaan fans-fansnya itu memang benar-benar beralasan. Ini objektif, bukan subjektif.



Kamu tahu benar apa yang kumaksud” katanya, “kamu suka sama Bumi, kan?” Hendra menatapku dengan pandangan yang membuatku tidak bisa berbohong, “Aku bisa melihatnya.” lanjutnya setelah melihat ekspresiku yang sepertinya mengiyakan tebakannya.



Kamu salah!” elakku. Harga diriku tidak mengizinkanku untuk mengakui kalau aku menyukai Bumi. Bukan, harga diriku tidak mengizinkanku untuk menyukai Bumi dan tidak mengizinkanku untuk membiarkan orang lain mengira kalau aku menyukai Bumi.



Aku benci Bumi sejak pertama kali aku melihatnya. Dan perasaan itu tidak berubah sampai sekarang!” kataku penuh emosi. Hendra tetap tenang.



Jadi kamu memperhatikannya sejak dulu? Sampai sekarang, malah!” Aku jadi nggak habis pikir. Kurasa kami berdua membicarakan dua hal yang berbeda.



Lagi-lagi Hendra menatapku dengan penmdangan yang membuatku tidak bisa berbohong. Oke. Itu memang benar. Aku memperhatikan Bumi sejak pertama kali aku datang ke sekolah ini sampai sekarang. TAPI ITU KARENA AKU MEMBENCINYA!!



Sudah cukup semua omong kosong ini. Aku meninggalkan Hendra begitu saja dan berjalan menuju kelas. Kuakui Hendra benar. Yang salah darinya adalah, dia mengira aku menyukai Bumi. Tapi obrolanku dengan Hendra tadi membuatku menyadari sesuatu yang lain.



Aku memikirkan kata-kata Hendra semalaman sampai aku kurang tidur dan hari ini masuk sekolah dengan sangat enggan. Selain itu aku tidak mau bertemu dengan Bumi. Aku tidak tahu harus pasang tampang seperti apa kalau aku ketemu dia. Huh, aku bersyukur karena hari ini kelasku selalu jauh dari kelasnya.



Aku berjalan menuju lapangan basket yang menghubungkan ruang guru dengan ruang kelas. Ketika pandanganku menyapu lapangan basket, pandanganku berhenti pada satu titik, seperti kakiku yang berhenti saat itu juga.



Bumi berdiri di samping pilar tepat di depanku dengan membawa seikat besar bunga matahari, bunga kesukaanku, yang dirangkai dengan sangat manis. Dia memandang lurus padaku dan akupun tidak bisa lagi menghiraukan murid-murid yang memperhatikan kami. Jantungku kembali serasa berhenti berdetak sesaat dan mataku hanya fokus merefleksikan bayangan Bumi di retinaku.



Dia gila.



DIA GILA. Dia membawa rangkaian bunga sebesar itu, membawa bunga yang pastinya menarik perhatian siapa saja yang melihatnya, di SEKOLAH, di PINTU MASUK, antara ruang guru dan ruang kelas. Apa dia nggak berpikir kalau semua murid—termasuk guru dan para pegawai—otomatis melihatnya?!



Aku memutuskan tidak menghiraukannya. Aku berjalan melewatinya dengan angkuh, mengeraskan rahangku, menyembunyikan segenap perasaan entah tegang entah malu entah senang, membiarkannya memandangku yang berjalan melewati tengah lapangan. Aku berusaha berjalan sewajar mungkin, tidak terlalu cepat tidak terlalu pelan, berharap Bumi tidak akan melakukan sesuatu yang aneh.



FORGIVE ME PLEASE, BRANCH!!”



Aku menghentikan langkahku tepat di tengah lapangan. Aku berbalik. Aku bahkan tidak peduli lagi kalau kami jadi strip show gratisan. Bumi berlari ke arahku dan kemudian menyodorkan bunga itu ke arahku.



Aku mau melakukan apapun yang kamu minta tapi jangan benci padaku, ya, Branch!” pintanya merengek. Wajahnya sudah berubah menjadi kepiting rebus seperti wajahku juga. Aku mengambil bunganya dengan kasar dan menarik tangannya agar mengikutiku menuju belakang aula secepat yang aku bisa, menghindari tatapan iri dari penggemar-penggemar Bumi.



Aku lega melihat belakang aula yang sepi. Aku menyadari kalau aku masih menggenggam tangan Bumi. Aku segera merenggangkan peganganku agar lepas dari tangan Bumi tapi Bumi malah menggenggam tanganku lebih erat. Dia menarik tanganku agar aku mendekat dan memandangnya.



Dia memandangku dalam-dalam, mencari sesuatu, menyebabkan tubuhku tidak bisa bergerak. Saat itu sesuatu dari dasar perutku seolah melonjak ke bagian atas dan membuatku semakin terkunci pada pandangannnya.



Ketika kesadaranku kembali, aku melayangkan sebelah tanganku yang bebas ke perut Bumi. Dengan segera dia melapas genggaman tangannya dan beralih memegangi perutnya sambil mengaduh kesakitan.



Kamu pikir cuma dengan seikat bunga matahari aja aku bisa maafin kamu? Permintaan maafmu yang gila tadi malah malu-maluin tahu!” semprotku kemudian



Aku kan sudah minta maaf!” protesnya, “kamu juga sudah mukul aku barusan.” lanjutnya semakin manja saja. Coba saja bersandiwara didepanku! Dia tidak punya pilihan lain selain menjadi dirinya sendiri.



Kalau kamu merengek sampai mulutmu sobek baru aku maafin.” kataku kejam. Aku harap dia merengek lagi. Tapi Bumi malah bangkit berdiri, berjalan mendekatiku dan menarik tanganku. Bumi menghempaskanku ke dinding dan mencengkeram pergelangan tanganku.



Kalau kamu bilang begitu, aku akan benar-benar merobek bibirku. Aku serius nggak ingin kamu benci.” katanya serius. Suasananya berubah seketika. Melihat ekspresinya yang menakutkan aku jadi sedikit ketakutan.



Kamu tidak akan berani.” tantangku takut-takut. Kuharap dia benar-benar tidak berani. Aku melihat jemarinya meraba luka di bibirnya yang mengering. Bumi mengelupasinya di depan mataku, sehingga aku kembali melihat darah segar mengalir dari bibirnya untuk kedua kalinya.



Apa yang kamu lakukan?” bentakku sambil memberontak dari cengkraman tangannya. Bumi tidak melepaskanku. Wajahnya berubah menjadi lembut dan lemah.



Aku suka kamu, Branch! Aku sungguh-sungguh menyukaimu.” katanya sambil menyandarkan kepalanya ke dinding tepat di sebelah kepalaku.



Aku tidak mengerti apa yang seharusnya kukatakan pada Bumi. Aku tidak mengerti apa yang kurasakan, tidak mengerti apa artinya Bumi bagiku, tidak mengerti penyebab kebencianku padanya, tidak mengerti alasan kenapa aku terus mencemaskannya, tidak mengerti setiap getaran yang mengusik ketenanganku, tidak mengerti arti dari degup jantung yang berhenti sejenak dan pandangan yang terpaku padanya.



Aku sungguh tidak mengerti.



Satu-satunya yang kutahu selama ini adalah aku selalu membenci Bumi.



Yang kurasakan padamu hanyalah kebencian! Sampai neraka turun saljupun aku nggak akan pernah suka sama kamu!!” ungkapku emosi.



Aku berontak dan berlari meninggalkan Bumi. Jam pertama sudah berlalu dan aku bergabung dengan teman-temanku yang pindah ke kelas Biologi. Sebenarnya percuma aku masuk kelas, karena aku sama sekali tidak konsentrasi belajar. Sampai jam makan siang aku tetap lemas dan malas.



Tiba-tiba Ryezsha masuk ke kelasku dan menggebrak meja. Aku tetap duduk dengan tenang di kursiku, memandangnya tanpa ekspresi yang penting.



Maaf, apa aku kenal kamu?” tanyaku santai dan luar biasa ramah. Wajahnya yang putih memerah karena marah.



Ikut aku” perintahnya sok.



Bukankah seharusnya kamu bilang tolong?” pintaku tetap tenang dan sopan. Aku menikmati setiap reaksinya yang mulai kelihatan tidak sabar. Menarik, daripada aku bosan dan malas-malasan?! Coba lihat apa yang bisa dilakukannya.



Baiklah! Kuanggap kamu sudah bilang.” kataku beranjak karena aku melihat Ryezsha sudah hampir menangis.



Dia membawaku ke belakang aula. Aku merasakan memori tentang aku dan Bumi merasuki kepalaku. Bayangan flash back mulai pertama kali aku dan Bumi kesini sampai kejadian pagi tadi terbayang begitu jelas. Bunga mataharinya masih tergeletak di sana. Kupungut lalu kuletakkan di atas meja bekas. Secercah perasaan aneh dan asing mulai kurasakan. Perasaan itu terasa seperti kesedihan, seperti kerinduan, seperti ketakutan.



Belakangan ini aku sering lihat kamu sama Bumi” kata Ryezsha mengusik lamunanku, “Aku nggak suka kamu deket-deket Bumi!” Aku sudah menduga dia akan membicarakan hal ini.



Tapi Bumi suka.” kataku tenang tapi agak mengejek. Aku memang berniat mempermainkannya.



Itu karena kamu ganjen dan ngerayu dia kan?” tuduhnya emosi. Aku tersenyum tipis.



Bener! Bumi yang suka dekat-dekat aku.” kataku. Wajah Ryezsha memerah marah.



Kamu bohong!” teriaknya histeris.



Aku tidak bohong!” balasku sengit.



Kamu harus menjauhi dia! Aku yang duluan suka sama Bumi, bukan kamu!!” Ryezsha mulai menangis. Dia benar-benar egois.



Ini bukan masalah siapa yang duluan suka tapi siapa yang perasaannya lebih besar!!” balasku marah.



Aku mencintainya, Branch!! Dan aku tahu kamu cuma mempermainkan dia. Kamu nggak serius! Kamu nggak benar-benar suka sama Bumi!”



Itu benar. Aku bahkan sangat benci Bumi.



Walaupun begitu kenapa aku masih tidak bisa menjelaskan apa yang selama ini kurasakan, termasuk kenapa aku sangat membenci Bumi?



Aku memandang Ryezsha. Lalu aku memandang diriku sendiri.



Oh, aku tahu sekarang.



Aku tahu kenapa aku selalu membenci Bumi. Aku tahu kenapa aku mencemaskannya. Aku mengerti arti setiap getaran yang mengusik ketenanganku, arti dari jantung yang serasa berhenti berdegup, termasuk arti Bumi bagiku. Aku sudah mengerti apa yang kurasakan padanya. Aku sudah tahu sekarang.



Sorry, tapi aku juga mencintainya.” kataku lemas, mengaku. Pada Ryezsha, pada diriku sendiri, pada seluruh species di seluruh dunia, termasuk Bumi.



Aku jatuh terduduk di tempatku sementara Ryesha berlari sambil berurai air mata. Aku terlalu sibuk menganggap aku membencinya. Aku terlalu sibuk melarikan diri. Aku sibuk membohongi diriku sendiri, sibuk menuang sesuatu yang sebenarnya manis, yang kukira racun.



Sudah terlambat untuk menyadari perasaan menyebalkan ini. Aku sudah terlanjur melukai Bumi. Aku sudah menyakitinya.



Aku memungut bunga matahari pemberian Bumi dan memeluknya.



Ternyata… aku sama sekali nggak benci kamu…ternyata… aku sangat suka sama kamu. Bumi…I need you like I’ve never needed anyone before. I just only love you.” kataku sambil menangis sesenggukan. Aku sudah sangat putus asa, putus harapan.






Airlangga Bumiranggarajasa Candrasangkala






Wajahku sudah terasa sangat panas sekarang. Aku juga tahu warnanya sudah semerah tomat. Halow, apakah saya sedang bermimpi? Tidak, Mr Airlangga, Branch benar-benar bilang kalau dia menyukaimu barusan. Dia bahkan sangat membutuhkanmu. Benarkah? Benarkah? Oh, Tuhan, aku rela mati saat ini juga!!



Ops, tidak. Belum, Tuhan. Aku masih harus keluar dari persembunyianku. Kemarin aku cerita soal Branch sama Hendra, dan aksiku pagi tadi adalah ide gilanya. Sekalipun Branch bilang dia membenciku, Hendra bilang itu bohong, karena Branch itu orang yang tertutup. Jadi aku ke kelasnya. Tapi begitu sampai disana aku lihat dia dan Ryezsha keluar kelas dan menuju aula. Tentu saja aku buntuti mereka. Dan di sinilah aku sekarang.



Aku melangkah tanpa suara mendekati Branch.



Apa neraka sedang turun salju, Branch?” tanyaku saat aku sudah berada tepat di belakangnya. Branch menoleh dengan wajah basah air mata. Scraf oranyenya membuatnya terlihat sangat cantik di antara bunga-bunga matahari yang dipeluknya. Air matanya yang menetes deras bagaikan tetes-tetes embun di pagi hari. Tangisnya jadi makin deras begitu dia tahu kalau aku yang datang.



Aku duduk di sebelahnya, tersenyum, menghapus tetes demi tetes air matanya yang semakin deras saja. Branch membuka mulutnya untuk bicara tapi tertahan oleh sesenggukannya.



Kamu nggak benci aku, kan?” tanyaku. Branch menggeleng.



Kamu suka aku, dong?!” Branch mengangguk.



Kalau gitu kita pacaran sekarang?” Branch mengangguk lagi.



Aku tidak bisa berhenti tersenyum melihatnya seperti itu. Dia kelihatan lemah seperti waktu itu, tapi bedanya, kali ini dia mengizinkan aku menghilangkan semua yang mengusiknya.



Jadi kalau aku melakukan hal yang seperti kemarin itu, kamu nggak marah dong?” tanyaku menggodanya. Wajahnya langsung memerah dan dia tidak berani menatapku! Branch yang suka mengancam dan galak itu bisa begitu juga, ya?!



Aku akan membunuhmu. Sungguh!” katanya berusaha galak.



Bohong, ah!”



Yang kupikirkan saat itu sama. Aku hanya ingin membebaskan Branch dari perasaan-perasaan yang mengusiknya. Aku ingin membuatnya yakin kalau perasaanku ini nyata dan tulus untuknya. Aku ingin dia membagi segala yang dirasakannya. Sungguh hanya itu.



Branch melepaskan diri dariku. Aku memandangnya sepenuh hati, yang dibalas Branch dengan pandangan yang hangat.



Katanya mau membunuhku?” tanyaku jahil. Branch memandangku dengan galak.



Nggak jadi soalnya sepertinya neraka sedang turun salju sekarang.”






Kebaikan dalam kata-kata menciptakan percaya diri



Kebaikan dalam berpikir menciptakan kebijakan



Kebaikan dalam memberi menciptakan cinta


NEO QUASIMODO




Senin, 24 Juli


Hari ini Dimas mengantarkanku pulang. Aneh rasanya, karena ini kesempatan yang kutunggu-tunggu, tapi begitu aku mendapatkannya, aku sama sekali tidak merasa tertarik.


Aku bertanya beberapa hal yang sederhana, sesederhana yang kubisa, dan dijawab dengan jawaban yang tak kalah sederhananya. Biasanya aku akan langsung mencoba menumbuhkan minatnya untuk membicarakan hal lain, tapi begitu Dimas mengahiri kalimatnya— yang lebih pantas dibilang kata-kata mengingat dia tidak suka bicara—aku juga diam sampai saat terakhir.


Semangat Rendra jauh lebih besar ketimbang aku sendiri. Dengan senang hati dia menanyakan Dimas apakah dia mau mengantarkanku pulang, lalu kembali dengan wajah berseri dan penuh senyuman karena Dimas setuju.


Rendra itu aneh. Padahal Aditya yang juga tahu kalau aku naksir Dimas dan mendukungku—setidaknya mendengarkan ceritaku dan memberiku saran-saran—berekspresi biasa-biasa saja dan malah berkata, ”Biasa aja, dong, Den! Nggak usah didramatisir!” saat aku bersorak kegirangan mendengar Dimas mau mengantarku pulang. Tapi Rendra malah nggak henti-hentinya membicarakan Dimas.




Selasa, 25 Juli


Aku bertemu dengannnya di pagi hari. Dia sedang berjalan dengan Arman. Aku menyapa mereka secara universal tapi mataku menanti jawaban Dimas. Aku sudah tahu dia nggak akan berlaku sesuai keinginanku, jadi aku terbiasa diperlakukan seolah tidak ada. Yah, seolah tidak ada.


Pada saat istirahat aku tidak lagi mencari-cari dimana Dimas berada. Malah aku sempat menghindar ketika aku bertemu dengannya di koridor saat istirahat panjang. Dan aku berhenti membicarakannya, walaupun aku tidak pernah bisa berhenti memikirkannya. Bertemu dengannya hanya akan membuat hatiku sakit, melihat tampangnya yang innocent—bisa-bisanya, padahal dia sudah salah memperlakukanku—malah membuatku muak dan ingin memukulnya keras-keras. Dia benar-benar menyebalkan.




Rabu, 26 Juli


Dimas berlutut di hadapanku. Dia meraih tanganku dan mengatakan bahwa dia telah melakukan kesalahan dan berjanji akan mengantarku pulang mulai hari ini.


Aku berkedip. Saat aku membuka mataku, aku melihat jam dinding menunjuk pukul 07.00!! Dasar!! Mimpi indah yang menyebalkan !! Dan yang membuatku tambah sebal, mimpi itu membuatku terlambat!!


Aku tidak pergi ke sekolah dan kembali tidur. Lalu aku kembali memikirkan Dimas. Kalau seandainya itu sungguh-sungguh terjadi, apa yang akan kukatakan? Aku tahu aku tidak akan dengan mudah mengatakan bahwa aku mau. Tunggu, apakah itu berarti aku tidak sungguh-sungguh menyukainya? Atau aku sudah berhenti suka sama dia?




Kamis, 27 Juli


Dimas tidak masuk sekolah karena kecelakaan.


Ehm.


Lihat!! Bagaimana bisa aku menulis kalimat Dimas tidak masuk karena kecelakaan dengan diakhiri tanda titik?! Dan secara reflek aku mengatakan “Kenapa tidak mati saja” saat Haris mengatakan padaku bahwa Dimas ada di rumah, baik-baik saja walaupun dia habis mengalami kecelakaan, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.


Tapi sesungguhnya aku mengkhawatirkannya. Icella dan Yanuarista bisa melihat itu karena lima menit setelah aku mengatakan kata-kata kasar itu, aku mengajak Rendra untuk menjenguknya. Walaupun dia protes tapi akhirnya mau juga karena aku tidak akan berhenti merengek sampai dia mau ikut menjenguk Dimas.


Finally, bukan hanya aku dan Rendra tapi juga seluruh teman sekelas kami saat kelas sepuluh—mereka datang atas rujukanku—memenuhi halaman depan rumahnya yang cukup luas, dengan rumpun mawar dan anggrek tanah.


Kenyataannya dia memang baik baik saja walaupun aku melihat ada perban coklat melilit kakinya. Kembali aku menyadari bahwa Dimas tidak mau melangkah ke tempat yang ada akunya, walaupun semua teman baiknya ada di sana.




Jumat, 28 Juli


Hari ini aku mulai menjaga jarak. Rendra menyadari hal itu dan meminta penjelasanku. Kukatakan padanya bahwa bukannya aku pengecut tapi aku hanya akan mengejar cowok yang kusukai jika dan hanya jika dia memberi sinyal bahwa dia menyukaiku. Dimas bahkan tidak pernah mau bicara denganku kalau aku tidak mengajak dia bicara duluan.


Belum tentu gitu, kan? Toh, kamu belum pernah tanya langsung.” ujar Rendra.


Tapi dia selalu menghindari aku.” jawabku.


Kurasa itu karena dia suka kamu. Kamu tahu Dimas, ‘kan. Dia orangnya memang kayak gitu.” Aku terperangah. Bisa-bisanya dia bilang begitu padahal dia tahu pasti kalau menghindar itu juga bisa mengartikan yang sebaliknya.


Tentang menghindar, kurasa kamu jauh lebih tahu dari pada aku.” kataku sebal sambil meninggalkannya.


Rendra hampir selalu memberi harapan palsu padaku. Kemarin dulu juga pernah begitu. Dia mengatakan bahwa Dimas tidak henti-hentinya memandangi fotoku padahal kenyataannya dia hanya meliriknya. Selain itu juga pernah Rendra bilang bahwa Dimas mengajakku pulang bersamanya dan begitu aku menunggunya ternyata Dimas sudah pulang sedari tadi.


Itu, kan karena Rendra ingin menghiburmu, Den!” kata Fyra menghibur setelah kuceritakan perihal Rendra.


Itu hanya akan melambungkanku jauh ke angkasa dan menjatuhkanku dari sana juga. Jauh, jauh lebih menyakitkan.” Bantahku ngambek.


Rendra minta maaf karena hal itu kemudian. Yah, karena dia sudah minta maaf, jadi aku hanya bisa mengganggap bahwa Rendra hanya berusaha menghiburku, walaupun caranya salah. Tapi usahanya itu membuatku sangat terharu.




Senin, 31 Juli


Aku masih tetap melarikan diri dari Dimas. Begitu juga ketika Haris dan Dimas berjalan ke arahku di kantin, Dengan mengeraskan rahang, aku berlalu begitu saja seolah aku tidak melihat mereka berdua. Tapi Haris memanggilku, bertanya di mana kelasku, dan dengan sangat terpaksa aku menoleh, melakukan suatu kebodohan besar dengan menjawab bahwa ruanganku adalah ruang dua padahal ruangan itu adalah ruangan kelas mereka dan aku berada di ruang satu. Aku berusaha berlaku sangat—amat sangat—dingin tapi jawabanku menggelikan.


Rendra kembali memburuku mengenai mengapa aku masih tidak mau melihat, bertemu, menyapa dan sebagainya pada Dimas. Dia terus menyerangku dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh sampai akhirnya telingaku penuh dan emosiku memuncak. Kukatakan padanya,


Aku rasa dia tidak menyukaiku!! Dia bahkan nggak suka berada di dekatku, mengingat dia selalu menghindari tempat-tempat yang ada akunya. Kurasa aku NGGAK boleh menganggunya dengan minta dia ngantar aku pulang atau minjam buku-bukunya, oke?!”


Aku tahu rasanya bagaimana bila terpaksa melihat wajah orang yang tidak ingin kulihat, melakukan sesuatu yang tidak ingin kulakukan, bersama dengan orang yang tidak kuinginkan.


Pasti rasanya sangat menyebalkan. Dan aku tidak ingin membuatnya merasa tidak nyaman karena aku. Aku tidak bisa membuatnya sengsara, jadi aku memutuskan tidak akan mengganggunya lagi. Oh, Tuhan, kenapa aku tidak mati saja, sih?


Apa segitu sakitnya?” tanya Rendra. Apakah semua itu tidak jelas?


Kamu tahu benar perasaanku kayak apa kalau seseorang yang kusukai ternyata nganggap aku sebagai pengganggu yang buat dia merasa nggak nyaman.” Rendra mengenal perasaan ini. Sakit, tapi tidak cukup kalau hanya disebut sakit. Lebih dari pada itu.




Selasa, 1 Agustus


Hari ini—kurasa sebagai permintaan maaf—Rendra memperlakukanku dengan sangat baik. Walaupun biasanya dia memang memperlakukanku dengan baik, seperti membiarkanku masuk/keluar kelas lebih dulu & selalu memujiku cantik, tapi hari ini lain karena dia berlaku sangat manis. Mulai dari menceritakan lelucon-lelucon konyol, membuatkanku peta geografi, dan berhenti membicarakan Dimas.


Sebenarnya dia membicarakan Dimas. Saat dia memergoki aku sedang melamun, dia berkata bahwa Dimas itu bodoh sekali karena menolak seseorang yang sangat istimewa seperti diriku. Katanya lagi, Dimas seharusnya bersyukur karena dia bisa memperbaiki keturunannya kalau dia jadian denganku. Dia benar-benar menghiburku, walaupun sebenarnya banyak omongan bohong di dalamnya.


Aku jadi sempat terpikir, kenapa aku tidak naksir seseorang seperti Rendra saja, yang selalu menjadi seorang gentleman dan selalu memperlakukan seseorang dengan baik.


Seseorang yang seperti Rendra, mencintai seseorang dengan sepenuh hatinya dan mau memberikan apa saja asalkan orang itu merasa bahagia.


Seseorang yang, lagi-lagi seperti Rendra, mencintai seseorang tanpa pamrih, sekalipun dia terluka karenanya.


Tapi itu hanya akan jadi suatu pemikiran saja karena aku sendiri tidak pernah yakin seratus persen dia sudah melupakan Gadis—teman sekelas kami waktu kelas sepuluh—atau malah jatuh cinta lagi pada cewek lain yang kemungkinan adalah Yanuarista—teman sekelas kami mulai dari kelas sepuluh sampai sekarang—karena kulihat mereka berdua sering berbicara dari hati ke hati dan sangat mencurigakan. Ops, bukannya kecurigaanku ini yang tidak jelas?!


Lagi pula tidak mungkin kan kalau aku suka padanya. Halo, aku baru saja memutuskan untuk melupakan Dimas dan prosesnya masih berjalalan tiga hari.


Tentu saja tidak.


Kurasa ada yang kurang beres di sini karena aku sendiri juga merasakan hal lain selain “tentu saja tidak” itu. Dan aku tidak bisa mengira-ngira apa itu.




Rabu, 2 Agustus


Tentu saja tidak.


TENTU SAJA TIDAK. TIDAK.


Tapi kenapa aku mulai merasa tidak rela kalau Rista dekat-dekat Rendra?


Kurasa itu wajar saja karena pada awalnya memang aku yang lebih dulu akrab dengan Randra di kelas sepuluh dan Rista bahkan sama sekali tidak pernah bicara pada Rendra sebelum akhir semester dua.


Dan sekarang tiba-tiba Rista hampir selalu duduk di sebelah Rendra dan membicarakan hal-hal yang tidak kuketahui?? Maksudku biasanya apa yang dibicarakan Rista pada Rendra berasal dari pembicaraanku dengan Rendra, dan biasanya kami selalu bicara bertiga atau berempat atau berenam atau berdua tapi Rista tidak pernah bicara berdua dengan Rendra. Tidak pernah.


Hari ini aku melihat Rendra, yang dingin itu, yang tidak menertawakan sesuatu hal yang dianggap manusia sekelas lucu, yang tidak bicara kalau tidak mengenai hal-hal penting seperti kebakaran misalnya, yang bahkan kadang-kadang tidak menjawab kalau seseorang bertanya padanya, terus-menerus menggoda Rista tanpa adanya provokasi dari Rista dan tidak dari siapapun.


Dan ketika aku menanyainya sesuatu yang memang kurang penting, dia tidak menghiraukanku.


Padahal dia akrab denganku lebih lama dibanding Rista.


Apakah cowok itu nggak suka kalau diajak ngomong sama cewek?” tanyaku pada Aditya, yang duduk di sebalahku dengan volume yang cukup bisa membuat orang yang duduk tepat di depanku dengar, dan orang itu adalah Rendra, yang duduk di sebelah Rista.


Tergantung siapa ceweknya. Kalau dia nggak akrab sama aku atau dari kelas lain, aku juga males njawabnya.” jawab Aditya santai.


Tapi cewek itu adalah teman sekelasmu, kamu sering guyon sama dia, sekelompok sama dia hampir di semua mata pelajaran, dan duduk di belakangmu.” kataku dengan penuh penekanan.


Siapa, sih?” tanya Aditya. Rendra menoleh dan menyeringai.


Aku, ta Den?” tanya Rendra dengan ekspresi yang memang kuinginkan, ekspresi penyesalan.


Iya!! Kupikir pasti para cowok memang nggak suka tapi Aditya nggak pernah gitu. Dia selalu menghiraukankan siapa saja yang ngajak dia bicara.” kataku hati-hati supaya tidak terdengar emosional dan agar terlihat ini bukan masalah yang besar.


Kapan aku berlaku begitu, sih?” tanya Rendra dengan lembut agar tetap terdengar penuh penyesalan.


Kapan?! Saking seringnya aku sampai nggak inget lagi dan aku sampai terbiasa nggak direken.” kataku datar.


Iya, iya! Aku nggak akan begitu lagi, deh!” katanya manis, sempat membuatku sedikit terbawa tapi aku hanya mengangkat alisku dan tersenyum sedikit seolah mengatakan kita lihat saja.


Dan yang kulihat adalah perhatian Rendra yang nggak biasanya. Nggak biasanya dia mengomentari kata-kataku pada orang lain soalnya biasanya dia tidak suka mencampuri obrolanku dengan orang lain. Aku, walaupun tidak memandangnya langsung, bisa menangkap kalau dia lebih sering memandangiku, mungkin untuk memberiku komentar dan dia bahkan selalu bereaksi kalau aku berbicara, pada siapa saja, sekalipun bukan dia. Kurasa aku tidak keterlaluan. Iya, kan?




Kamis, 3 Agustus


Setelah jam ke empat aku secara diam-diam, tanpa ada seorangpun yang tahu, pergi ke Ruang Kesehatan karena selain tenggorokanku yang sakit aku juga flu—sedikit demam dan dunia berputar-putar dalam kepalaku—jadi aku memutuskan untuk berbaring sebentar.


Begitu penjaga memberiku obat, dan meninggalkanku sendirian karena dia harus pulang menjaga putrinya yang sakit. Sementara aku berbaring, ternyata seseorang membuka pintu. Aku membuka mataku dan melihat Dimas berdiri di sana!!


Aku terduduk dengan cepat dan membuat handuk basah yang menutup dahiku jatuh ke pangkuanku. Jantungku berdetak begitu cepat menunggu kata-kata keluar dari mulutnya.


Eh, hai. Mbaknya ke mana, ya?” tanyanya dengan senyuman simpul di sudut bibirnya. Sulit dipercaya kalau dia bukan seorang malaikat. Dia benar-benar mirip. Namun aku segera menguasai diriku dan mengatakan padanya apa yang terjadi.


Dan jadilah! Aku. Di ruangan itu, berdua saja dengan Dimas yang juga demam, yang berbaring di sebelah tempat tidurku. Aku tidak mengatakan apapun dari balik handuk basah yang kini menutupi seluruh wajahku karena aku memang tidak berniat mengatakan apapun.


Sepuluh menit kemudian yang bagiku bertahun-tahun lamanya, Rendra datang dengan tenang tapi dapat kulihat dari celah handukku, raut wajahnya berubah ketika melihat Dimas. Jadi kuputuskan untuk pura-pura tidur.


Aden?! Aden Ruanna?! Apa kamu baik-baik saja?” tanyanya pelan. Kupikir Dimas sedang tidur juga jadi Rendra tidak menyapa Dimas. Lalu aku membuka mataku dan menyingkirkan handuk dari wajahku. Aku melihat Rendra duduk di sisi tempat tidurku dan ketika aku menoleh ke sisi lainnya, Dimas tidak sedang menutup matanya. Dia duduk dan kepalanya bersandar ke kepala tempat tidur dan menoleh ke arah kami dengan pandangan mata yang tidak dapat kumengerti.


Suasana hening mendadak hampir selama seperempat jam. Rendra menatap Dimas, begitu pula Dimas dan aku tidak bisa mengerti apa yang mereka bicarakan dalam pandangan mata mereka.


Apa yang sebenarnya kalian lakukan?” tanyaku datar. Rendra beralih menatapku lalu kembali menatap Dimas.


Apa yang kamu rasakan pada Aden Ruanna.” Aku tersentak. Rasa sakitku hilang seketika. Segera aku duduk dan menatap Rendra penuh tanya. Rendra tidak menghiraukanku.


Ren, kamu bukan orang yang tepat untuk menanyakan hal itu.”


Oh, ya?!” tanyanya mengejek, “lalu kenapa bukan kamu saja yang tanya?”


Oke,” tantangku, “Dimas, apa kamu suka sama aku?” tanyaku sambil memandangnya, menanti jawaban yang sebenarnya tidak ingin kudengarkan.


Aku,” katanya terputus dan pandangannya menjadi merasa bersalah, “Aku hanya menganggapmu teman.”


Aku segera memalingkan wajahku. Sungguh jawaban yang tidak ingin kudengar. Sesuatu di dadaku mulai terasa sakit dan semakin sakit saja. Tapi aku harus bertahan dan tetap berani. Kenyataan terkadang memang menyakitkan, tapi harus tetap diterima.


Den,” panggil Dimas, “Aku ingin kamu berhenti.” Aku menoleh padanya dan memandangnya seakan aku telah diperlakukan tidak adil.


Kenapa?” tanyaku sedikit emosional dan semakin emosi saja, “Kenapa aku harus berhenti?! Aku harus berhenti dari apa?” dan benda asing yang hangat menetes dari mataku.


Kamu suka sama aku. Aku tahu itu.” katanya yakin. Malah membuatku tambah sulit menerima.


Dan kamu menghindar. Dari sesuatu yang seharusnya kamu hadapi.” tuduhku angkuh.


Itu karena aku nggak bisa membalas perasaanmu. Aku terlalu takut menyakiti kamu, jadi kupikir kamu akan berhenti. Tapi kamu tetap berlari dan begitu aku sadar, kamu memang sudah tersakiti. Dan sebelum semakin sakit, berhentilah.” pintanya dengan tenang, setenang senyum malaikatnya yang sekarang terasa semakin menyakitkan.


Itu keputusanku. Terserah padaku.” jawabku ketus sambil berpaling.


Pikirkan orang lain di sekitarmu! Apa kamu pikir teman-teman akan senang melihatmu menyakiti dirimu sendiri? Nggak, Den. Mereka nggak akan senang. Dan seseorang akan ikut terluka.” Nada bicaranya mulai naik dan lebih dalam, mengetuk pintu hatiku yang telah dia masuki secara tidak bertanggung jawab.


Siapa, siapa yang ikut terluka?” tanyaku datar karena aku yakin tak seorangpun dari mereka yang akan ikut terluka.


Aku.” jawab Rendra memecah keheningan yang sontak tercipta. Aku menoleh padanya, penuh pertanyaan. Apa ini harapan palsu lagi?


Kenapa? Kenapa kamu harus ikut terluka?” tanyaku menuduh.


Karena kamu terus ada di pikiranku. Karena, karena dan karena aku ternyata suka sama kamu. Aku sayang sama kamu, dan aku jatuh cinta sama kamu.”


Apa?!” kataku, tidak mempercayai pendengaranku. Kalau dia bilang suka, sayang dan selalu memikirkanku, bisa berarti kalau itu kasih sayang persahabatan. Tapi dia bilang dia jatuh cinta padaku?! Sahabatmu tidak akan pernah mengatakan dia jatuh cinta padamu. Ini terlalu asli kalau dibilang palsu!


Rendra, aku baru saja patah hati dan kamu tahu kan, nggak semudah itu aku bisa langsung balas perasaan kamu.” kataku meminta pengertian Rendra.


Apa itu artinya kamu nggak suka padaku sedikitpun?” tanya Rendra sambil menahan senyum di bibirnya. Seolah-olah dia tahu perasaanku yang memang tidak menganggapnya teman biasa. Kupikir aku pandai menyembunyikan perasaanku, tapi apakah sekentara itu sampai Rendra tahu?


Aku merasa aneh karena di sela-sela rasa sedihku karena patah hati, aku merasa ada perasaan yang bukan kesedihan tapi tidak tepat kalau disebut kebahagiaan. Tapi whatever-lah.


Kamu mau tetap di situ sama Dimas atau ikut aku?” tawar Rendra yang beranjak ke luar ruangan kesehatan sambil mengangkat alisnya dengan sangat, oh, tidak, sangat memesona.


Kalau harus memilih sih kurasa setiap orang akan memilih terus berjalan dan memandang ke depan daripada diam di tempat dan menatapi masa lalu yang tidak menjanjikan apapun, kan?! Dan itulah yang kupilih, berjalan lurus tanpa menoleh ke belakang.


Aku belum berani bilang kalau aku suka sama Rendra tapi dapat kurasakan kalau Rendra itu manusia biasa yang memiliki keajaiban—bukan seperti Dimas, seorang malaikat yang memang memiliki kekuatan magis—yang digambarkan Gibran seperti kecapi Orpheus, yang menarik perhatian siapapun yang mendengarnya dan gemanya yang memikat dapat mengubah batu menjadi suluh yang terang benderang dan cabang menjadi sayap yang lincah.


If you try hard to pulling me, offcourse. It will be. But I’m not sure.” kataku kemudian.


Let’s we see,” jawabnya sambil lagi-lagi mengangkat alisnya dengan, oh, sekali lagi tidak, sangat memesona, “Who out as a winner” .






In regards to the true Rendra and Dimas


For give me the great feeling


Yeah, it’s me!