Thursday, March 22, 2007

never hate my girl



NEVER HATE ME, MY GIRL


Airlangga Bumiranggarajasa Candrasangkala



Aku bergerak gelisah di tempat dudukku. Aku harus pulang tepat waktu untuk membereskan rumahku yang mirip kapal pecah agar aku terhindar dari amukan dahsyat kedua orangtuaku yang kedahsyatannya melebihi kekuatan badai Carolina. Mana Hendra belum selesai mengerjakan tugas kami yang harus dikumpulkan hari ini juga!


Hen, cepetan, dong! Aku belum beresin rumah, nih! Bisa dibunuh aku kalau bapakku tahu keris kesayangannya nancep di saluran pembuangan kamar mandi!” protesku gelisah. Hendra menoleh dan tersenyum mengejek.



Bum, Bum! Kamu ini nggak sembodo sama namamu. Lagian, bisa-bisanya, sih, cewek-cewek tertipu sama sandiwara dan penampilan sok coolmu itu?” ejeknya.



Ahhh, sudah diam! Kamu terlalu banyak omong!” perintahku sambil mendelik padanya. Hendra menyambar tasnya dan bergegas ke ruang guru mengumpulkan tugas kami. Aku mengikutinya dari belakang.



Ketika aku melihat jam tanganku yang menunjuk pukul 16.00, aku spontan berlari menuju pintu gerbang melewati sisi kiri sekolah, koridor labolatorium, yang sepi dan suram mencekam.



Saat aku berlari melewati depan lab Kimia, pintu lab menjeblak terbuka secara tiba-tiba sebelum aku sempat memerintahkan kakiku untuk berhenti. Aku jatuh terduduk, masih belum sadar apa yang sebenarnya terjadi, dunia berputar-putar dalam pandanganku dan bibirku mulai terasa pedih.



Ketika pandanganku kembali, seorang gadis keluar dari lab itu sambil berlari-lari menghampiriku. Aku tidak memerhatikan wajahnya, hanya tahu bahwa dia bersimpuh di sisi kananku, karena pandanganku tersita oleh darah segar yang mengalir liar menodai kemeja putihku.



Maaf, ya?! Aku sungguh nggak bermaksud membunuhmu. Kupikir semua orang sudah pulang jadi aku nggak lihat-lihat.” jelasnya kacau dengan suara gemetar. Aku mengangkat wajahku untuk memandangnya. Gadis berambut hitam pekat itu berkulit kuning pucat dengan mata lebar berbola mata hitam.



Aku terpaku sejenak. Aku mengenalinya sebagai Branch Rajendradewi, juniorku yang diam-diam selalu kuperhatikan semenjak dia mulai memandangku dengan sinar mata yang aneh ketika aku bersama dengan cewek-cewek. Entah kenapa sejak saat itu, perhatianku tersita sepenuhnya olehnya. Dia, walaupun tidak begitu cantik, tampak sangat menarik bagiku, jauh lebih menarik daripada cewek-cewek yang selalu merubungiku itu.



Aku tahu namanya dari badge yang tertempel di dada kanannya. Selain itu aku hanya tahu dia murid kelas X yang juga mengenakan lencana Better English sepertiku. Kami sering sekali berpapasan ketika pindah kelas. Dan saat itulah kami mulai saling berpandangan.



Branch membongkar tasnya dengan tergesa-gesa. Dia mencari sesuatu yang ternyata tidak ditemukannya. Lalu dia menarik kasar scraf putih dari kepalanya dan menempelkannya pada bibirku yang terasa makin pedih. Dia berusaha bergerak selembut mungkin, tapi percuma karena getaran hebat tetap terasa.



Pasti sakit sekali. Maaf, ya. Aku sungguh nggak sengaja.” katanya cemas. Aku lama mencerna kata-katanya karena aku sibuk memandangi wajahnya. Begitu aku sadar akan apa yang dikatakannya aku berpikir keras untuk mengatakan sesuatu. Ayo, Bumi, katakan sesuatu yang keren, yang bisa menawan hatinya, perintahku pada diriku sendiri, yang tidak mau menurut karena terlalu terpesona oleh aura Branch.



Oh, ayolah! Jangan malu-maluin di depan Branch, ah! Tapi tetap tidak ada yang keluar dari mulutku. Suaraku tercekat karena Branch baru sekali ini berada sangat dekat denganku. Dia sungguh sangat memesona.



Di tengah kesibukanku memerhatikannya, aku teringat rumahku yang super-duper berantakan dengan keris menancap di saluran pembuangan kamar mandi. Oh, tidak! Mati aku!



Aku segera bangkit dan melepas kemejaku yang berlumuran darah segar, bersiap-siap melaju ke rumah dengan kecepatan cahaya.



Bibirmu masih terus berdarah, pakai ini untuk menghentikan pendarahannya.” kata Branch yang sekarang berdiri di hadapanku, meletakkan tanganku di atas scraf putih yang menahan pendarahan bibirku. Aku kemudian terpikir sesuatu yang bisa membuatku terus berurusan dengan Branch.



Aku meraih tangannya dan menyerahkan kemejaku sambil tersenyum luar biasa komersil. “Tolong, ya! Aku buru-buru.” kataku sambil berlari memburu waktu, berlomba dengan orang tuaku yang sekarang dalam perjalanan pulang, meninggalkan Branch di tempatnya.






* * *



Esok harinya, saat pelajaran belum dimulai, aku duduk di depan kelas bersama Hendra membicarakan pertandingan AREMA-PERSIB. Sebenarnya itu hanya kamuflase. Aku duduk di depan kelas karena aku menunggu kedatangan Branch, yang kelasnya ada di depan kelasku, melanjutkan rencanaku agar aku bisa tetap berhubungan dengannya.



Kemudian aku melihat Branch yang tampak cantik dengan scraf biru berenda, berjalan menuju kelasnya. Dia melihatku secara terang-terangan, seolah mengabaikan aku yang juga memandangnya.



Hei Branch!” sapaku. Branch kemudian berjalan ke arahku dengan wajah penuh penyesalan. Sampai tepat di hadapanku dia hanya memerhatikan bibirku.



Kenapa nggak diobati?” tanyanya datar. Aku bisa melihat kecemasan yang dia sembunyikan dari wajahnya yang manis. Aku menahan senyumku, berusaha tetap terlihat cool.



Aku baik-baik saja kok.” kataku sambil memandangnya lekat-lekat, “Tapi aku ternyata tidak baik-baik saja.” lanjutku berekspresi lemah. Branch memandangku penuh tanya.



Semalaman terasa pedih dan aku nggak tahu harus kuapakan supaya rasa sakitnya berhenti.” kataku memancing. Hendra mulai tahu maksudku dan Branch masih berusaha mencernanya.



Kurasa itu akan sangat menggangumu. Ya, kan? Pasti tidurmu nggak nyaman dan kamu nggak bisa konsentrasi kalau bibirmu terus-terusan pedih. Aku juga nggak bisa membayangkan gimana kamu bisa makan makanan berkuah yang menjadi menu makan siang kita sehari-hari?” kata Hendra mendukung rencanaku. Dia sahabat yang oke punya, yang selalu bisa mengerti apa yang kupikirkan.



Aku akan tanggung jawab. Gimana kalau di belakang aula setiap pagi, jam makan siang dan setelah pulang sekolah?” tanyanya dengan penuh penyesalan. Branch menangkap maksud kami. Kurasa dia merasa terpojok. AKU BERHASIL!! Sementara hatiku bersorak-sorak gembira bel berbunyi dan Branch mengatakan kalau dia menungguku di sana nanti.



Jam makan siang yang kunanti-nantikan datang juga. Aku segera menghambur ke belakang aula sementara Hendra, seperti murid-murid yang lain, pergi ke kantin untuk makan siang. Ternyata Branch sudah ada di sana. Aku dengan sedikit segan duduk di sebelahnya.



Kamu mau makan? Aku cuma bawa satu, tapi ini buatmu aja.” katanya sambil menyodorkan kotak plastik berisi makan siang tanpa kuah. Aku memandangnnya sebentar lalu kembali menatap kotak itu bermenit-menit lamanya.



Branch mengambil kotak itu dari pangkuanku, mengambil sendok dan menawarkannnya ke depan mulutku. Ya, ampun! Dia menyuapku! Bukan, kurang suffix –i.



Dia mengangkat alisnya dengan sangat cantik karena aku tak kunjung membuka mulutku. Aku yang tidak bisa berpaling dari wajahnya membuka mulutku dengan patuh. Aku mengunyah dan menelan tiap-tiap entah-apa-itu tanpa merasakan karena rasanya tidak akan selezat memandang wajah Branch.



Setelah isi kotak itu habis, Branch meletakkan tangannya di daguku dan menolehkan wajahku ke arahnya—jantungku serasa berhenti berdetak saat itu—lalu dia mulai mengolesi luka itu dengan obat yang luar biasa perihnya, sampai aku meringis kesakitan.



Diam, ah! Jangan manja!” perintahnya padaku. Entah kenapa aku malah kesenangan dimarahi seperti itu. Apalagi kalau aku memandang wajahnya yang dekat sekali denganku, wajahnya yang serius, yang menampakkan rahasia yang luar biasa memikat.



Berhenti memandangku seperti itu atau aku akan memukulmu.” ancamnya. Aku segera tersadar dari sihir yang dia ciptakan sendiri. Bukan salahku kalau aku memandangnya seperti itu. Salahnya, karena dia begitu menawan.



Aku lumayan bisa mengontrol diriku sendiri dari pengaruh sihir Branch saat dia mengobatiku setelah pelajaran selesai. Dia melakukannya pelan-pelan, selembut yang dia bisa. Aku merasakan sesuatu yang mengusik ketenangan jemarinya saat mengobati bibirku, tapi aku tidak tahu getaran apa itu. Tapi aku tidak peduli karena aku sibuk berdoa agar bibirku tidak pernah sembuh.



Pagi-pagi sekali aku sudah datang dan menunggu Branch di belakang aula. Setelah dia datang yang terjadi tidak banyak berbeda dari kemarin. Aku terus saja kehilangan kontrol diriku atas sihir Branch dan dia mengancam akan memukulku kalau aku tidak berhenti memandangnya seperti itu. Dan meskipun aku berulang kali lepas kontrol, Branch tidak memukulku. Semuanya cuma ancaman saja.



Aku datang duluan saat jam makan siang. Aku nggak tahu kenapa aku yang cool ini, yang jual mahal ini, jadi suka ngejar-ngejar cewek. Bukan, lebih tepatnya jadi suka ngejar-ngejar Branch. Padahal biasanya cewek-cewek datang dengan sendirinya, tanpa aku harus bersusah payah memikat mereka. Aku biasa melihat cewek cantik, seperti ibuku dan tiga saudara perempuannya (walaupun mereka berempat sudah kepala tiga, mereka tetap luar biasa cantik) tapi aku tidak pernah melihat cewek seperti Branch. Aku yakin, semua orang tidak akan pernah bosan melihatnya.



Di tengah lamunanku, seseorang datang, semula kukira Branch yang datang, tapi ternyata Ryezsha, salah seorang diantara cewek-cewek itu.



Hai, Bumi! Kok sendirian?!” sapanya basa-basi sambil tersenyum semanis yang dia bisa, kukira, tapi hasilnya mengecewakan.



Ngapain kamu ke sini?” tanyaku dingin. Aku sebenarnya ingin berdua saja dengan Branch. Aku berharap Ryezsha cepat pergi dari sini.



Hendra yang bilang,” jawabnya yang aku yakin seratus persen bohong, dia pasti memaksa Hendra, “Aku ke sini cuma mau nemenin kamu.” lanjutnya sok manja. Ukh, aku jadi ingin muntah.



Aku ada janji sama seseorang di sini, lagian kalau aku sendirian aku sama sekali nggak ingin kamu temani.” kataku tetap dingin, berharap dia segera pergi. Ryezsha pergi setelah berkata sesuatu yang terdengar bagai gumaman kacau di telingaku. Tapi apa peduliku, Branch sudah datang sekarang.



Dia duduk di sebelahku tanpa berkata apapun, aku lupa akan ancamannya dan memandangnya lekat-lekat, kembali dia mengancamku sambil mengeluarkan dua kotak plastik dan kemeja putihku.



Aku sungguh-sungguh akan memukulmu kalau kamu tetep seperti itu,” ancamnya sok serius, “kemejamu dan makan siangmu.” lanjutnya sambil menyodorkan benda-benda itu. Aku diam saja menatapi kemeja yang sudah dicuci dan kotak makan itu.



Aku mendengar Branch menarik napas panjang lalu mengambil kemeja dari pangkuanku dan memasukkannya ke dalam tasku. Dia juga mengambil kotak makan itu dari pangkuanku, membukanya dan bersiap-siap menyuapku (seperti biasa, kurang suffix-i).



Kenapa sih kamu nggak mau makan sendiri? Pasti di rumah kamu juga disuapi!” katanya mengejekku dengan raut muka jelek paling cantik yang pernah kulihat.



Aku tertawa terbahak-bahak menertawakan Branch. Dia mencibir lalu memasukkan sepotong besar entah-apa-itu dengan tangannya saat mulutku terbuka lebar menertawakannya. Aku segera diam, bukan hanya karena mulutku penuh tapi juga karena Branch, untuk pertama kalinya, tertawa lepas di depan mataku. Aku membalasnya dengan memasukkan entah-apa-itu kedalam mulutnya dan setelah itu kami perang–perangan makanan.






* * *



Sudah seminggu lamanya kerutinan ini berlangsung. Pagi hari sebelum pelajaran, jam makan siang dan sore hari setelah pelajaran selesai menjadi saat yang kunantikan setiap hari. Seolah-olah aku bangun setiap harinya hanya karena waktu-waktu ini. Ancaman Branch setiap kali aku memandangnya, getaran pada jemarinya yang mengacaukan kelembutannya dan perang makanan tanpa tawa tanpa kata-kata selalu membuatku merasa sangat senang.



Lagi pula aku selalu merasa aman kalau bersamanya, aku tidak perlu bersandiwara, tidak perlu berpura-pura menjadi orang yang berkepribadian keren, cowok yang cool, yang menjadi idaman setiap cewek. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku selalu merasa seperti itu. Tapi Branch tidak pernah mau menunjukkan apa yang dirasakannya. Aku selalu bisa melihat dia menyembunyikan suasana hatinya dariku. Walaupun aku tahu apa yang disembunyikannya, aku tetap ingin dia menunjukkan suasana hatinya.



Hari Senin sore, sembilan hari setelah itu, aku menyadari luka di bibirku itu sudah mengering. Berbagai macam pikiran yang tak kuinginkan terbayang dalam kepalaku. Kalau aku sudah sembuh, aku tidak punya alasan apapun untuk terus bersamanya. Aku akan kehilangan waktu-waktu yang kunantikan. Dan yang paling ekstrim, aku akan kehilangan Branch.



Segera setelah itu aku mengelupasinya lagi, sehingga darah kembali merebak. Kalau sudah begini aku akan punya lebih banyak waktu dengan Branch. Aku tersenyum lebar, dengan darah mengalir deras dari bibirku. Aku benar-benar bahagia.



Hari berikutnya aku puas melihat ekspresi wajah Branch yang kembali mengakhawatirkanku. Karena dia datang agak siang, jadi dia mengobatiku di kelasku. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya sesekali memandangku dengan galak. Kurasa dia marah. Tapi, Branch, seandainya kamu tahu ini kulakukan karena aku ingin bersamamu … .



Katakan padaku, apa yang kamu lakukan pada bibirmu?!” bentaknya sambil memandangku dengan tajam pada saat jam makan siang. Dia kelihatan sangat marah.



Aku nggak ngapa-ngapain, kok! Sungguh!” kataku sepolos mungkin, berharap kemarahannya mereda. Branch memandang jauh ke dalam mataku, mencari kebenaran yang tidak dia temukan, jadi dia terpaksa percaya pada kata-kataku. Dia berpaling, menembunykan perasaan tidak bisa menerima dariku.



Sorry, deh! Nggak akan terjadi lagi! Bener!” bujukku meyakinkannya.



Awas saja kalau terjadi lagi!” ancamnya tanpa memandangku, dengan suara yang lebih mirip rajukan daripada ancaman. Dia menunduk, kelihatannya sangat cemas, kelihatannya sangat sedih. Sesuatu yang kali ini disembunyikannya tak dapat kumengerti.



Yang terpikir di kepalaku saat itu hanyalah bagaimana aku bisa mengenyahkan segala macam kecemasan dan kesedihan yang mengusiknya, yang selalu disimpannya sendiri. Aku ingin dia jujur padaku, agar aku bisa meringankan hatinya. Sungguh hanya itu, aku hanya ingin dia tersenyum, tertawa lepas dan mengancamku dengan galak seperti biasanya.



Branch melepaskan diri dengan paksa. Dia berlari dengan membekap mulutnya, meninggalkan aku yang baru sadar akan apa yang baru saja kulakukan. Apa yang terasa di bibirku sudah bukan lagi bibir Branch yang lembut, hanya rasa pedih akibat luka yang kukelupasi kemarin. Yang kulakukan hanyalah duduk di sana sampai jam makan siang habis, menyesali apa yang terjadi.






Branch Rajendradewi






Jantungku berdebar jauh lebih cepat dari biasanya sejak aku meninggalkannya tadi. Aku merasakan wajahku memanas dan seluruh sarafku bergetar hebat. Aku membencinya lebih dari siapapun di dunia ini. Aku sudah terpaksa mengobatinya dan bertanggung jawab atas apa yang kulakukan. Sekarang dia malah merampas ciuman pertamaku!!



Aku berlari melewati belakang koridor lab dengan perasaan sebal luar biasa. Ketika aku melewati tikungan, aku menabrak seseorang, yang ternyata Hendra, teman baik Bumi. Hendra dan Bumi terkenal sebagai ace sekolah ini. Mereka berdua populer di antara kelas X.



Branch?? Kamu kenapa?” tanyanya sambil membantuku berdiri. Dia menoleh ke sana kemari, mencari Bumi, mungkin.



Hendra dan aku duduk di kantin yang sudah mulai sepi. Aku melihat Ryezsha—cewek yang selalu ngekorin Bumi ke manapun Bumi pergi—memandangiku dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Aku sudah tidak bisa menghiraukan apapun, termasuk Ryezsha dan murid-murid lain yang menatapku dengan iri karena aku bisa duduk semeja dengan Hendra.



Aku nggak tahu apa yang sudah dilakukan Bumi padamu, tapi dia bukan orang yang jahat. Apapun yang dilakukannya tadi, kurasa tidak ada maksud jelek di baliknya.” bujuk Hendra berusaha meyakinkanku. Percuma, apapun yang siapapun katakan tentang kebaikan Bumi tidak akan kupercayai. Bumi itu mahluk paling kejam di dunia ini!!



Dia itu orang dan teman yang baik. Bener! Aku kenal dia, kok!” lanjut Hendra tetap berusaha membuatku percaya padanya. Oh, kalau gitu dia tahu dong kalau Airlangga Bumiranggarajasa itu adalah penipu terbesar sepanjang sejarah? Bisa-bisanya dia bilang cowok playboy sok cakep sok cool tukang sandiwara itu orang dan teman yang baik?! Oh, aku hampir saja lupa kalau Hendra itu teman baiknya Bumi.



Mungkin dia memang orang dan teman yang baik. Tapi aku yakin dia bukan laki-laki yang baik!” kataku ketus. Hendra tersenyum menggoda.



Jadi kamu melihatnya sebagai seorang laki-laki?” Aku berjengit. Hendra malah menikmati ekspresiku.



Well, aku nggak melihatnya sebagai cewek?” kataku ngeles. Tapi Hendra malah tersenyum lebih lebar lagi. Dalam hati kuakui, kecintaan fans-fansnya itu memang benar-benar beralasan. Ini objektif, bukan subjektif.



Kamu tahu benar apa yang kumaksud” katanya, “kamu suka sama Bumi, kan?” Hendra menatapku dengan pandangan yang membuatku tidak bisa berbohong, “Aku bisa melihatnya.” lanjutnya setelah melihat ekspresiku yang sepertinya mengiyakan tebakannya.



Kamu salah!” elakku. Harga diriku tidak mengizinkanku untuk mengakui kalau aku menyukai Bumi. Bukan, harga diriku tidak mengizinkanku untuk menyukai Bumi dan tidak mengizinkanku untuk membiarkan orang lain mengira kalau aku menyukai Bumi.



Aku benci Bumi sejak pertama kali aku melihatnya. Dan perasaan itu tidak berubah sampai sekarang!” kataku penuh emosi. Hendra tetap tenang.



Jadi kamu memperhatikannya sejak dulu? Sampai sekarang, malah!” Aku jadi nggak habis pikir. Kurasa kami berdua membicarakan dua hal yang berbeda.



Lagi-lagi Hendra menatapku dengan penmdangan yang membuatku tidak bisa berbohong. Oke. Itu memang benar. Aku memperhatikan Bumi sejak pertama kali aku datang ke sekolah ini sampai sekarang. TAPI ITU KARENA AKU MEMBENCINYA!!



Sudah cukup semua omong kosong ini. Aku meninggalkan Hendra begitu saja dan berjalan menuju kelas. Kuakui Hendra benar. Yang salah darinya adalah, dia mengira aku menyukai Bumi. Tapi obrolanku dengan Hendra tadi membuatku menyadari sesuatu yang lain.



Aku memikirkan kata-kata Hendra semalaman sampai aku kurang tidur dan hari ini masuk sekolah dengan sangat enggan. Selain itu aku tidak mau bertemu dengan Bumi. Aku tidak tahu harus pasang tampang seperti apa kalau aku ketemu dia. Huh, aku bersyukur karena hari ini kelasku selalu jauh dari kelasnya.



Aku berjalan menuju lapangan basket yang menghubungkan ruang guru dengan ruang kelas. Ketika pandanganku menyapu lapangan basket, pandanganku berhenti pada satu titik, seperti kakiku yang berhenti saat itu juga.



Bumi berdiri di samping pilar tepat di depanku dengan membawa seikat besar bunga matahari, bunga kesukaanku, yang dirangkai dengan sangat manis. Dia memandang lurus padaku dan akupun tidak bisa lagi menghiraukan murid-murid yang memperhatikan kami. Jantungku kembali serasa berhenti berdetak sesaat dan mataku hanya fokus merefleksikan bayangan Bumi di retinaku.



Dia gila.



DIA GILA. Dia membawa rangkaian bunga sebesar itu, membawa bunga yang pastinya menarik perhatian siapa saja yang melihatnya, di SEKOLAH, di PINTU MASUK, antara ruang guru dan ruang kelas. Apa dia nggak berpikir kalau semua murid—termasuk guru dan para pegawai—otomatis melihatnya?!



Aku memutuskan tidak menghiraukannya. Aku berjalan melewatinya dengan angkuh, mengeraskan rahangku, menyembunyikan segenap perasaan entah tegang entah malu entah senang, membiarkannya memandangku yang berjalan melewati tengah lapangan. Aku berusaha berjalan sewajar mungkin, tidak terlalu cepat tidak terlalu pelan, berharap Bumi tidak akan melakukan sesuatu yang aneh.



FORGIVE ME PLEASE, BRANCH!!”



Aku menghentikan langkahku tepat di tengah lapangan. Aku berbalik. Aku bahkan tidak peduli lagi kalau kami jadi strip show gratisan. Bumi berlari ke arahku dan kemudian menyodorkan bunga itu ke arahku.



Aku mau melakukan apapun yang kamu minta tapi jangan benci padaku, ya, Branch!” pintanya merengek. Wajahnya sudah berubah menjadi kepiting rebus seperti wajahku juga. Aku mengambil bunganya dengan kasar dan menarik tangannya agar mengikutiku menuju belakang aula secepat yang aku bisa, menghindari tatapan iri dari penggemar-penggemar Bumi.



Aku lega melihat belakang aula yang sepi. Aku menyadari kalau aku masih menggenggam tangan Bumi. Aku segera merenggangkan peganganku agar lepas dari tangan Bumi tapi Bumi malah menggenggam tanganku lebih erat. Dia menarik tanganku agar aku mendekat dan memandangnya.



Dia memandangku dalam-dalam, mencari sesuatu, menyebabkan tubuhku tidak bisa bergerak. Saat itu sesuatu dari dasar perutku seolah melonjak ke bagian atas dan membuatku semakin terkunci pada pandangannnya.



Ketika kesadaranku kembali, aku melayangkan sebelah tanganku yang bebas ke perut Bumi. Dengan segera dia melapas genggaman tangannya dan beralih memegangi perutnya sambil mengaduh kesakitan.



Kamu pikir cuma dengan seikat bunga matahari aja aku bisa maafin kamu? Permintaan maafmu yang gila tadi malah malu-maluin tahu!” semprotku kemudian



Aku kan sudah minta maaf!” protesnya, “kamu juga sudah mukul aku barusan.” lanjutnya semakin manja saja. Coba saja bersandiwara didepanku! Dia tidak punya pilihan lain selain menjadi dirinya sendiri.



Kalau kamu merengek sampai mulutmu sobek baru aku maafin.” kataku kejam. Aku harap dia merengek lagi. Tapi Bumi malah bangkit berdiri, berjalan mendekatiku dan menarik tanganku. Bumi menghempaskanku ke dinding dan mencengkeram pergelangan tanganku.



Kalau kamu bilang begitu, aku akan benar-benar merobek bibirku. Aku serius nggak ingin kamu benci.” katanya serius. Suasananya berubah seketika. Melihat ekspresinya yang menakutkan aku jadi sedikit ketakutan.



Kamu tidak akan berani.” tantangku takut-takut. Kuharap dia benar-benar tidak berani. Aku melihat jemarinya meraba luka di bibirnya yang mengering. Bumi mengelupasinya di depan mataku, sehingga aku kembali melihat darah segar mengalir dari bibirnya untuk kedua kalinya.



Apa yang kamu lakukan?” bentakku sambil memberontak dari cengkraman tangannya. Bumi tidak melepaskanku. Wajahnya berubah menjadi lembut dan lemah.



Aku suka kamu, Branch! Aku sungguh-sungguh menyukaimu.” katanya sambil menyandarkan kepalanya ke dinding tepat di sebelah kepalaku.



Aku tidak mengerti apa yang seharusnya kukatakan pada Bumi. Aku tidak mengerti apa yang kurasakan, tidak mengerti apa artinya Bumi bagiku, tidak mengerti penyebab kebencianku padanya, tidak mengerti alasan kenapa aku terus mencemaskannya, tidak mengerti setiap getaran yang mengusik ketenanganku, tidak mengerti arti dari degup jantung yang berhenti sejenak dan pandangan yang terpaku padanya.



Aku sungguh tidak mengerti.



Satu-satunya yang kutahu selama ini adalah aku selalu membenci Bumi.



Yang kurasakan padamu hanyalah kebencian! Sampai neraka turun saljupun aku nggak akan pernah suka sama kamu!!” ungkapku emosi.



Aku berontak dan berlari meninggalkan Bumi. Jam pertama sudah berlalu dan aku bergabung dengan teman-temanku yang pindah ke kelas Biologi. Sebenarnya percuma aku masuk kelas, karena aku sama sekali tidak konsentrasi belajar. Sampai jam makan siang aku tetap lemas dan malas.



Tiba-tiba Ryezsha masuk ke kelasku dan menggebrak meja. Aku tetap duduk dengan tenang di kursiku, memandangnya tanpa ekspresi yang penting.



Maaf, apa aku kenal kamu?” tanyaku santai dan luar biasa ramah. Wajahnya yang putih memerah karena marah.



Ikut aku” perintahnya sok.



Bukankah seharusnya kamu bilang tolong?” pintaku tetap tenang dan sopan. Aku menikmati setiap reaksinya yang mulai kelihatan tidak sabar. Menarik, daripada aku bosan dan malas-malasan?! Coba lihat apa yang bisa dilakukannya.



Baiklah! Kuanggap kamu sudah bilang.” kataku beranjak karena aku melihat Ryezsha sudah hampir menangis.



Dia membawaku ke belakang aula. Aku merasakan memori tentang aku dan Bumi merasuki kepalaku. Bayangan flash back mulai pertama kali aku dan Bumi kesini sampai kejadian pagi tadi terbayang begitu jelas. Bunga mataharinya masih tergeletak di sana. Kupungut lalu kuletakkan di atas meja bekas. Secercah perasaan aneh dan asing mulai kurasakan. Perasaan itu terasa seperti kesedihan, seperti kerinduan, seperti ketakutan.



Belakangan ini aku sering lihat kamu sama Bumi” kata Ryezsha mengusik lamunanku, “Aku nggak suka kamu deket-deket Bumi!” Aku sudah menduga dia akan membicarakan hal ini.



Tapi Bumi suka.” kataku tenang tapi agak mengejek. Aku memang berniat mempermainkannya.



Itu karena kamu ganjen dan ngerayu dia kan?” tuduhnya emosi. Aku tersenyum tipis.



Bener! Bumi yang suka dekat-dekat aku.” kataku. Wajah Ryezsha memerah marah.



Kamu bohong!” teriaknya histeris.



Aku tidak bohong!” balasku sengit.



Kamu harus menjauhi dia! Aku yang duluan suka sama Bumi, bukan kamu!!” Ryezsha mulai menangis. Dia benar-benar egois.



Ini bukan masalah siapa yang duluan suka tapi siapa yang perasaannya lebih besar!!” balasku marah.



Aku mencintainya, Branch!! Dan aku tahu kamu cuma mempermainkan dia. Kamu nggak serius! Kamu nggak benar-benar suka sama Bumi!”



Itu benar. Aku bahkan sangat benci Bumi.



Walaupun begitu kenapa aku masih tidak bisa menjelaskan apa yang selama ini kurasakan, termasuk kenapa aku sangat membenci Bumi?



Aku memandang Ryezsha. Lalu aku memandang diriku sendiri.



Oh, aku tahu sekarang.



Aku tahu kenapa aku selalu membenci Bumi. Aku tahu kenapa aku mencemaskannya. Aku mengerti arti setiap getaran yang mengusik ketenanganku, arti dari jantung yang serasa berhenti berdegup, termasuk arti Bumi bagiku. Aku sudah mengerti apa yang kurasakan padanya. Aku sudah tahu sekarang.



Sorry, tapi aku juga mencintainya.” kataku lemas, mengaku. Pada Ryezsha, pada diriku sendiri, pada seluruh species di seluruh dunia, termasuk Bumi.



Aku jatuh terduduk di tempatku sementara Ryesha berlari sambil berurai air mata. Aku terlalu sibuk menganggap aku membencinya. Aku terlalu sibuk melarikan diri. Aku sibuk membohongi diriku sendiri, sibuk menuang sesuatu yang sebenarnya manis, yang kukira racun.



Sudah terlambat untuk menyadari perasaan menyebalkan ini. Aku sudah terlanjur melukai Bumi. Aku sudah menyakitinya.



Aku memungut bunga matahari pemberian Bumi dan memeluknya.



Ternyata… aku sama sekali nggak benci kamu…ternyata… aku sangat suka sama kamu. Bumi…I need you like I’ve never needed anyone before. I just only love you.” kataku sambil menangis sesenggukan. Aku sudah sangat putus asa, putus harapan.






Airlangga Bumiranggarajasa Candrasangkala






Wajahku sudah terasa sangat panas sekarang. Aku juga tahu warnanya sudah semerah tomat. Halow, apakah saya sedang bermimpi? Tidak, Mr Airlangga, Branch benar-benar bilang kalau dia menyukaimu barusan. Dia bahkan sangat membutuhkanmu. Benarkah? Benarkah? Oh, Tuhan, aku rela mati saat ini juga!!



Ops, tidak. Belum, Tuhan. Aku masih harus keluar dari persembunyianku. Kemarin aku cerita soal Branch sama Hendra, dan aksiku pagi tadi adalah ide gilanya. Sekalipun Branch bilang dia membenciku, Hendra bilang itu bohong, karena Branch itu orang yang tertutup. Jadi aku ke kelasnya. Tapi begitu sampai disana aku lihat dia dan Ryezsha keluar kelas dan menuju aula. Tentu saja aku buntuti mereka. Dan di sinilah aku sekarang.



Aku melangkah tanpa suara mendekati Branch.



Apa neraka sedang turun salju, Branch?” tanyaku saat aku sudah berada tepat di belakangnya. Branch menoleh dengan wajah basah air mata. Scraf oranyenya membuatnya terlihat sangat cantik di antara bunga-bunga matahari yang dipeluknya. Air matanya yang menetes deras bagaikan tetes-tetes embun di pagi hari. Tangisnya jadi makin deras begitu dia tahu kalau aku yang datang.



Aku duduk di sebelahnya, tersenyum, menghapus tetes demi tetes air matanya yang semakin deras saja. Branch membuka mulutnya untuk bicara tapi tertahan oleh sesenggukannya.



Kamu nggak benci aku, kan?” tanyaku. Branch menggeleng.



Kamu suka aku, dong?!” Branch mengangguk.



Kalau gitu kita pacaran sekarang?” Branch mengangguk lagi.



Aku tidak bisa berhenti tersenyum melihatnya seperti itu. Dia kelihatan lemah seperti waktu itu, tapi bedanya, kali ini dia mengizinkan aku menghilangkan semua yang mengusiknya.



Jadi kalau aku melakukan hal yang seperti kemarin itu, kamu nggak marah dong?” tanyaku menggodanya. Wajahnya langsung memerah dan dia tidak berani menatapku! Branch yang suka mengancam dan galak itu bisa begitu juga, ya?!



Aku akan membunuhmu. Sungguh!” katanya berusaha galak.



Bohong, ah!”



Yang kupikirkan saat itu sama. Aku hanya ingin membebaskan Branch dari perasaan-perasaan yang mengusiknya. Aku ingin membuatnya yakin kalau perasaanku ini nyata dan tulus untuknya. Aku ingin dia membagi segala yang dirasakannya. Sungguh hanya itu.



Branch melepaskan diri dariku. Aku memandangnya sepenuh hati, yang dibalas Branch dengan pandangan yang hangat.



Katanya mau membunuhku?” tanyaku jahil. Branch memandangku dengan galak.



Nggak jadi soalnya sepertinya neraka sedang turun salju sekarang.”






Kebaikan dalam kata-kata menciptakan percaya diri



Kebaikan dalam berpikir menciptakan kebijakan



Kebaikan dalam memberi menciptakan cinta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home