Thursday, March 22, 2007

nobody's perfect


NOBODY’S PERFECT






Emily


Kami berempat berada di perpustakaan. Aku tidak pernah berhenti memandang Orion. Tidak hanya itu, aku juga tidak akan pernah berhenti mengaguminya. Dia hebat. Sangat hebat. Aku sangat menyukainya. Pribadinya, dirinya, bakatnya, semuanya.


Orion sedang membuka buku anatomi hewan. Aku duduk di sebelahnya dan ikut melongok buku itu. Aku terbelalak.


“Ry,” nama panggilan Orion, “buku itu kan pake bahasa Inggris!” pekikku.


“Aku cuma lihat gambarnya aja. Kubaca sekalipun aku nggak ‘kan tahu isinya.” jawabnya sambil menoleh padaku dengan ekspresi yang luar biasa bodohnya. Mary Jane tertawa keras-keras sedangkan Stella nyengir mengejek. Aku tahu Orion hanya merendah karena menjaga perasaan kami, terutama perasaanku, yang bahasa Inggrisnya paling payah. Dia berbohong waktu mengatakan tidak tahu isinya. D-i-a t-a-h-u.


“Heh, memangnya kalau kamu baca buku anatomi kamu bisa tahu kalau NO2- itu anion atau kation?” tegur MJ yang sedang menghapalkan anion kation sebelumnya. Orion terlonjak.


“Ya, ampun!! Aku baru inget sekarang!” katanya kaget karena baru ingat kalau setelah ini ada ulangan Kimia, lalu buru-buru membuka buku catatannya.


“Kalau Orion, sih, nggak usah belajar! Nanti juga dapat bagus!” kata Stella—yang terdengar lebih persis ejekan—sambil mengambil kursi di sebelah MJ.


“Nilai bagus dapatnya juga dari belajar, gals!” balas Orion sama sengitnya. Kuakui itu benar tapi tidak sepenuhnya benar buat Orion. Kata-kata Stella memang lebih pas buat Orion.


“Tapi kenapa, ya, Ry, walaupun aku sudah belajar semalaman tapi nilaiku nggak seperti yang kuingini.?” tanyaku putus asa sambil meletakkan kepalaku di meja.


“Eehh, nggak heran kalau kamu berharap dapat Over Outstanding (terlalu luar biasa).” gurau Orion yang diikuti tawa MJ dan Stella. Ketawain aja, mereka memang nggak pernah mengalami hal itu, sih.


“Itu kenyataan. Contohnya ulangan Biologi kemarin. Aku sudah semalam suntuk belajar tapi cuma dapat Acceptable (cukup).” protesku kemudian.


“Kamu nerveous, kali?! Mil, Tuhan pasti ngasih sesuatu yang sebanding dengan apa yang kita lakukan.” hibur Orion dengan lembut, seolah dia paham perasaanku. Dia baik sekali.


Mungkin itu berlaku untuk Orion, tapi nggak sepenuhnya berlaku buat aku. Aku yakin, walaupun Orion hanya belajar Kimia selama setengah jam sebelum ulangannya dimulai, dia akan mendapat nilai bagus. Minim Exceed Expectation (di luar perkiraan).


Tapi bagaimana dengan aku? Aku belajar mati-matian untuk ulangan hari ini. Coba lihat hasilnya besok. Kuharap Tuhan tidak melupakan aku. Hanya Dia yang mampu menolongku.


“Oh, MJ! Berhentilah bernyanyi!”






Mary Jane


“Ya, ampun! Biarkan saya berkreasi!” protesku pada Orion yang menyuruhku menutup mulutku, berhenti bernyanyi karena dia tidak bisa konsentrasi.


“Masih sempat aja nyanyi! Apa kamu lupa kata-katamu kalu saat ulangan dimulai saat itulah vonis dijatuhkan?” balas Orion. Sial! Sejak kapan, sih, dia pandai membalas kata-kataku?!


Aku memang tidak sepandai mereka bertiga dan aku harus serius belajar untuk semua jenis pelajaran hanya untuk melihat nilai Acceptable di atas kertas ulanganku.


Aku tidak sepandai Orion yang walaupun hampir selalu lupa belajar untuk ulangan dan belajar sekitar satu jam sebelum ulangan, bisa mendapat nilai Outstanding pada setiap mata pelajaran baik itu sains, seni dan olahhraga.


Aku tidak seperti Stella yang walaupun tidak belajar tetap mendapat minimal Acceptable. Kecuali seni, ilmu non-eksak dan bahasa asing. Aku juga tidak seperti Emily yang hebat dalam pelajaran yang menurut kami bertiga pelajaran sial yaitu Fisika.


Tapi bagiku itu tidak menjadi masalah besar yang pantas dikeluhkan dan disesali. Aku sadar aku punya hal lain yang bisa kubanggakan. Setiap orang memang memiliki keistimewaannya sendiri, kan?


Well, aku memang tidak bisa bermain alat musik apapun seperti Orion yang mampu memainkan gitar, piano dan biola dengan lumayan baik tapi aku bisa menyanyi jauh lebih baik darinya. Aku juga pandai bersandiwara (yang disebut Stella Ilmu berbohong). Aku juga bisa berbahasa asing lebih fasih daripada Orion, Stella dan Emily walaupun ujian tertulisnya tetap lebih baik Orion.


Huh, kurasa aku terlalu memaksakan diri. Aku hanya berusaha menerima kenyataan yang ternyata tidak terlalu dapat kuterima dengan tulus. Kalau tidak begitu kenapa dari tadi aku selalu membanding-bandingkan diriku dengan Orion? Dan kenapa aku malah pamer kelebihan? Jelas aku hanya menghibur diri.


“Bisa nggak sih kamu urai rambutmu, Stel? Aku risih lihat kamu ngepang rambut jadi dua terus! Tahu ga, kamu sudah cukup mirip Betty La Fea dengan kaca matamu itu!”




Stella


“Apa yang membuatmu berpikir kalau aku peduli?” jawabku ketus. Aku lumayan sering mendengar kata-kata sejenis itu dari mulutnya. Aku tidak mau menggubrisnya. Dia malah membuat cuaca makin panas.


“Nanti nggak ada yang suka sama kamu loh!” goda Emily. Aku tersenyum kecut.


“Persetan dengan mahkluk itu!” jawabku secuek mungkin. Aku tidak mau mereka tahu kalau aku sangat memedulikan hal itu. Aku ingin sekali ada cowok yang suka padaku. Aku terus-menerus merasa iri pada Orion yang menjadi satu-satunya di antara kami yang sudah pernah punya dan sudah punya cowok.


Oh, oke ini ulangannya. Lumayan susah juga. Tapi mungkin aku bisa dapat nilai Outstanding pada ulangan ini. Kurang satu nomor lagi yang belum kukerjakan tapi aku sudah melihat Orion menyerahkan kertasnya dan keluar kelas. Emily dan MJ menampakkan wajah kesulitan yang penuh konsentrasi saat aku melihat ke arah mereka.


“Stella,” kataku pada diri sendiri, “tidak ada waktu untuk merasa iri pada orang lain. Selesaikan ini dan kamu bisa keluar.” Aku sudah selesai sekarang. Aku menyerahkan kertas ulanganku dan melangkah keluar. Aku melihat Orion duduk di tepi koridor.


“Cepet banget!” tegurku. Orion menoleh dan tersenyum simpul yang kuartikan sebagai kata-kata soal-soalnya lumayan gampang.


“Proyekmu gimana?” tanyanya mengalihkan topik pembicaraan. Aku menulis tentang masalah sudut pandang pengarang pada novel-novel ternama. Masih setengah jadi dan sekarang aku krisis informasi.


“ Belum,” jawabku, “krisis informasi, nih! Kalau kamu?” Proyek kami sama yaitu sastra. Orion mengangkat bahasa yang digunakan pengarang serta pengaruhnya pada bahasa nasional. Oh, aku ajdi ingat sesuatu yang penting. Aku lupa menambahkan pengaruhnya pada penjualan!! Oh, Tuhan!


“Sudah hampir selesai. Tinggal menampilkan fakta seberapa banyak yang suka membaca buku yang memakai bahasa baku atau bahasa slang.” jawabnya. Orion selalu satu langkah lebih maju daripada aku. Selalu saja.


“Heran kalau kamu belum, Mawar!” kataku dimanis-maniskan. Mawar inilah yang membuat bunga-bunga lainnya menjadi mati dan tidak menarik. Kalau Orion mawar aku memang lebih mirip bunga rumput. Jelek, tidak menarik. Walaupun punya daya tahan tubuh yang kuat siapa sih yang memuji bunga rumput itu cantik? Mereka toh lebih suka mawar yang rentan itu.


“Kemarin aku sendirian di rumah jadi nggak ada yang bisa kukerjakan selain proyekku itu.” jelasnya merendah. Aku menangkap sesuatu yang lain dari sikap rendah hatinya itu. Aku malah merasa dia menyombong dan memamerkan diri.


“Berapa nilaimu, Stella?” tanya Emily esok harinya ketika hasil ulangannya selesai dibagikan. Aku tersenyum puas memandangi kertas ulanganku.


Exceed Expectation, 9/10!” kataku dengan senyum mengembang sebesar bunga matahari. Aku pantas mendapatkannya karena aku sudah belajar semalaman.


“Aku dapat Acceptable, 7.5/10, sama seperti Emily.” sahut MJ tidak seberapa senang. Lalu serentak kami menoleh ke arah Orion.


Outstanding, 10/10.” katanya biasa saja. Hatiku berkeriut. Padahal dia hanya belajar 30 menit sebelum ulangan dimulai.


“Hebat! Benar-benar mawar yang memesona!” seruku menutupi ketidakpuasanku. MJ dan Emily melongo kaget tapi kemudian bertepuk tangan.


“Padahal kamu belajar cuma setengah jam.” kata Emily.


“Konsentrasi mendengarkan penjelasan guru.” jawab Orion tetap rendah hati.




Orion


“Besok psikotest-nya dibagikan, ya?” lanjutku mengalihkan arah pembicaraan. Aku tidak mau lagi membahas tentang keberhasilanku dan mawar-mawaran itu.


Dalam psikotest itu aku yakin Stella akan melihat angka di atas 130 di kertas itu. Yah, baik untuknya. Dan Emily, dia sebetulnya pintar hanya kurang percaya diri. Juga MJ. Dia cool.


“Hei, Mawar! Lihat!” seru Stella sambil merampas kertas ulangan dari tanganku.


“Berhenti memanggilku seperti itu!” tegurku. Aku nggak suka disebut begitu. Rasa-rasanya kata itu terdengar menjadi Ms. Perfect di telingaku. Aku benar-benar risih.


“Terserah padaku, dong!” balas Stella memprotes. Aku mengerutkan dahiku. Perasaan sebal menyelimutiku. Bagaimana mungkin dia bisa bilang “terserah padaku”? Dia nggak pernah memikirkan perasaan orang lain. Terlalu cuek. Tidak, bukan cuek, terlalu egois. Karena aku juga cuek tapi aku selalu menjaga perasaan orang lain dengan menjaga kata-kataku.


“Tapi aku keberatan!” sahutku tak kalah sengit. Lalu semuanya diam.


“IQ-ku 120.” kata Emily esok harinya saat hasil psikotest-nya dibagikan.


“118,” kata MJ, kelihatan agak kecewa.


“135.” sahut Stella sambil tersenyum puas. Tuh kan apa kataku. Serentak mereka menoleh ke arahku.


“Jangan memandangku seolah aku ber-IQ 170, ah! Aku 129!” jawabku tetap puas. Stella segera merampas kertasku dan setelah dia melihatnya dia bilang tidak mungkin karena aku adalah sekuntum mawar yang memesona.


“Apanya yang nggak mungkin sih, Stel? Itulah IQ-ku.” jawabku mengontrol emosi. Stella harus berhenti menyebutku begitu. Aku tidak sesempurna yang dia katakan dan aku tidak suka.


Stella, MJ dan Emily meneliti kertas itu. Halo, nggak ada yang salah di situ. Nggak mungkin kan kalau pengetiknya salah mengetik angka 139 dengan 129?


“Tapi kamu mawar! Kamu punya warna apapun!’ protes Stella. Apa sih yang membuatnya merasa tidak puas? Ini kan yang dia inginkan?


“Kutegaskan pada kalian. Aku tidak sempurna. Kuakui memang kalau aku bisa semua mata pelajaran. Tidak pernah mendapat nilai di bawah Acceptable apapun itu. Entah menggambar, atletik maupun main tiga jenis alat musik. Bisa menyanyi dan menari. Aku memang punya banyak warna,” aku menarik napas sambil melihat reaksi mereka, “
tapi, satu yang kalian perlu tahu. Tidak satupun dari warna itu memiliki konsentrasi lebih banyak. Semua sama. Aku hanya sekedar bisa. Aku bahkan lebih suka memiliki satu warna tapi benar-benar istimewa.” lanjutku memuntahkan semua yang selama ini kurasakan dengan putus asa.


“Ry, aku nggak tahu kalau kamu merasa seperti itu. Aku selalu ingin seperti kamu. Cantik, pinter, berkepribadian baik dan disukai semua orang.” kata Emily lembut.


“Kalau semua orang memandangku seperti itu tentu saja. Tapi kamu nggak akan tahan. Disebut Mawar hanya akan membuatmu diterbangkan jauh ke langit dan membuatmu merasakan bagaimana rasanya dijatuhkan dari sana.” kataku tenang tapi penuh penekanan.


“Kami iri padamu, Ry!” kata Stella pelan. Iri katanya? Oh, ayolah, yang benar saja!


“Setiap orang punya hartanya masing-msing. Berhenti melihat apa yang kumiliki dan lihatlah apa yang kalian miliki.” kataku kemudian. Mereka semua menunduk memikirkan apa yang baru saja kukatakan.


“Stella! Kamu jenius! Dan siapa sih yang bisa menandingi kesederhanaanmu? Kamu bahkan nggak peduli apa yang orang lain katakan tentang dirimu. Kamu terus menjadi dirimu sendiri.” kataku pada Stella. Pandangan matanya menatap lurus ke depan, menerawang.


“Tapi aku tetap tidak sehebat kamu.” katanya takut-takut.


“Jangan jadikan aku sebagai standar kalian!” kataku agak membentak. Aku tahu MJ dan Emily juga merasa sama tidak puasnya dengan Stella.


“Mary Jane! Aku tahu kalau kamu tahu apa yang kau punyai tapi tidak dimiliki semua orang. Ingat, itu yang membuatmu istimewa! Itu yang membuatmu berbeda dari yang lainnya. Yang membuatmu maju ke depan adalah apa yang kamu miliki bukan apa yang kumiliki atau orang lain miliki. Jadilah dirimu yang terbaik!”


“Emily! Mana yang menurutmu lebih penting, proses atau hasil?” Emily berpikir enggan.


“Aku tahu, proses, kan? Tapi, Ry, proses dilakukan untuk mencapai hasil.” sanggahnya.


“Apa menurutmu hasil bisa menjadi salah kalau prosesnya benar? Seperti ulangan, belum tentu nilai yang baik di kertas ulangan itu adalah murni hasil belajar. Bisa saja itu hasil yang lain”, aku menarik napas panjang lalu melanjutkan, “Dalam proses apa yang lebih penting dari kerajinan, ketekunan, dan sikap pantang menyerah? Kerja kerasmu adalah kunci menuju semua itu.” Mereka masih tidak mengatakan apapun dan tidak berani memandang mataku.


“Justru aku yang seharusnya iri pada kalian. Kalian istimewa. Bukan karena kalian punya semuanya tapi karena kalian memiliki lebih dari apa yang orang lain miliki.”


“ITU SAMA SEKALI TIDAK BENAR!” sergah mereka serentak.


“Orion, kurasa kamu masih belum tahu kelebihanmu yang satu ini.” kata Emily pelan.


“Aku punya bakat lain lagi?? Kurasa sudah cukup dengan semua bakat-bakatku itu. Aku, hanya perlu satu bakat yang paling menonjol.” jawabku penuh keluh.


“Oh, ayolah Orion! Jangan bodoh, ah! Kamu tahu apa yang kupikirkan, kurasakan dan tahu apa yang akan kulakukan dalam setiap kondisi.” pancing Stella.


“Kamu memahami kondisi kami, kondisi yang kami sendiri tidak sadari.” Emily ikut memancing. Eh, tapi aku kemudian menyadari bahwa aku terpancing layaknya ikan. Aku tahu!!


“ORION!! Kamu bisa memberikan solusi pada orang-orang yang bermasalah!” teriakku pada diriku sendiri.


“Aku heran, dengan kepala seperti itu kamu cukup lama menyadarinya!” ejek Stella.


“Yah, kupikir kalian tahu jawabannya.” kataku tersenyum menggoda.


“Yeah, NOBODY’S PERFECT”

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home